ESGNOW.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian baru yang suram mengungkapkan bahwa Kutub Utara (Arktik) tidak akan memiliki lautan es sama sekali dalam 10 tahun ke depan. Para peneliti dari University of Colorado-Boulder mengindikasikan bahwa Kutub Utara dapat mengalami musim panas pertama tanpa es laut dalam beberapa tahun ke depan, jauh lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.
Proyeksi ini menggarisbawahi penurunan es di laut Kutub Utara yang dapat mendahului kondisi bebas es selama satu bulan penuh pada pertengahan abad ke-21, dengan potensi kondisi bebas es selama beberapa bulan pada akhir abad ini tergantung pada emisi gas rumah kaca di masa depan.
"Bebas es" dalam istilah Arktik didefinisikan ketika luas es di lautan turun di bawah satu juta kilometer persegi, sebuah penurunan dramatis dari jumlah minimum musiman tahun 1980-an yang berjumlah sekitar lima kali lipat. Saat ini, tutupan es laut minimum di Kutub Utara pada bulan September berkisar 3,3 juta kilometer persegi, tetapi jumlah ini terus menurun dengan cepat.
Para ilmuwan dari Institute of Arctic and Alpine Research di CU Boulder menganalisis proyeksi es laut yang ada dan model iklim komputasi untuk menilai perubahan harian di masa depan Kutub Utara. Temuan mereka menunjukkan bahwa Samudra Arktik dapat menyaksikan hari bebas es pertamanya pada akhir tahun 2020-an atau awal tahun 2030-an, terlepas dari skenario emisi.
Hal ini menandai percepatan yang signifikan dalam garis waktu hilangnya es laut Arktik, dengan hari bebas es pertama berpotensi terjadi hingga 18 tahun lebih awal dari yang diperkirakan oleh rata-rata bulanan.
Penurunan es laut memiliki implikasi yang mengerikan tidak hanya bagi iklim global tetapi juga bagi satwa liar Arktik seperti anjing laut dan beruang kutub, yang mengandalkan es laut untuk bertahan hidup. Selain itu, menyusutnya es laut mengancam masyarakat pesisir dengan meningkatkan ukuran gelombang laut, yang mengarah pada peningkatan erosi pantai.
"Saat ingin menyampaikan apa yang diperkirakan para ilmuwan akan terjadi di Kutub Utara, penting untuk memprediksi kapan kita dapat mengamati kondisi bebas es pertama kali di Kutub Utara, yang akan muncul di data satelit harian," kata penulis studi Alexandra Jahn, seorang profesor ilmu atmosfer dan kelautan di Institute of Arctic and Alpine Research di CU Boulder, dilansir Study Finds, Senin (11/3/2024).
Studi ini menekankan peran penting emisi gas rumah kaca dalam mempercepat hilangnya es di laut. Jahn menjelaskan bahwa berkurangnya lapisan salju dan es memungkinkan lautan menyerap lebih banyak sinar matahari, sehingga menghangatkan Kutub Utara dan mempercepat pencairan es. Dia menyoroti pentingnya mengurangi emisi untuk mengurangi frekuensi kondisi bebas es di masa depan.
Berdasarkan skenario emisi menengah, Kutub Utara dapat menjadi bebas es selama akhir musim panas hingga awal musim gugur. Namun, skenario emisi yang tinggi dapat menyebabkan Kutub Utara bebas es hingga sembilan bulan pada akhir abad ini.
"Hal ini akan mengubah Arktik menjadi lingkungan yang berbeda, dari Arktik musim panas yang berwarna putih menjadi Arktik yang berwarna biru. Jadi, meskipun kondisi tanpa es tidak dapat dihindari, kita tetap harus menjaga emisi serendah mungkin untuk menghindari kondisi tanpa es yang berkepanjangan," jelas Jahn.
Terlepas dari proyeksi yang mengerikan, masih ada secercah harapan. Jahn menunjukkan bahwa es laut Arktik sangat tangguh dan dapat pulih dalam waktu satu dekade jika teknologi atau metode di masa depan dapat secara efektif mengurangi tingkat CO2 di atmosfer dan membalikkan pemanasan global. Potensi pemulihan ini menggarisbawahi pentingnya upaya berkelanjutan untuk mengurangi emisi dan memerangi perubahan iklim.
"Tidak seperti lapisan es di Greenland yang membutuhkan waktu ribuan tahun untuk terbentuk, bahkan jika kita mencairkan semua es laut Arktik, dan kita dapat menemukan cara untuk mengeluarkan CO2 dari atmosfer di masa depan, es laut akan kembali dalam waktu satu dekade," ujar Jahn.
Penelitian yang didukung oleh U.S. National Science Foundation, Alexander von Humboldt Foundation, dan NASA ini diterbitkan dalam jurnal Nature Reviews Earth & Environment.