ESGNOW.ID, JAKARTA -- Sektor pertambangan bijih besi Australia yang sangat besar menghadapi pilihan sulit karena pelanggan terbesarnya, China, kemungkinan besar telah mencapai puncak produksi bajanya. Di sisi lain, terdapat tekanan global untuk mendekarbonisasi salah satu industri yang paling banyak menimbulkan polusi ini.
Australia adalah eksportir bijih besi terbesar di dunia, bahan baku utama yang digunakan untuk membuat baja, dan mengirimkan sekitar 930 juta metrik ton tahun lalu dengan nilai sekitar 93 miliar dolar AS.
Australia juga merupakan pengekspor batu bara metalurgi terbesar di dunia, yang digunakan untuk membuat baja, menempati urutan kedua untuk batu bara termal dan gas alam cair, serta pengekspor lithium terbesar dan pengekspor netto emas terbesar.
Namun, menurut Kolumnis Komoditas dan Energi Asia Reuters, Clyde Russell, ekspor semua komoditas ini secara keseluruhan hampir tidak melebihi nilai pengiriman bijih besi. Hal ini menggarisbawahi peran bijih besi yang sangat besar, yang sebagian besar diproduksi di negara bagian Australia Barat.
Lebih dari 80 persen ekspor bijih besi diekspor ke Cina, yang membeli sekitar 70 persen dari total volume global dan memproduksi sekitar setengah dari total baja dunia. Namun sifat permintaan China dan proses pembuatan baja kemungkinan besar akan berubah dalam beberapa tahun ke depan, sehingga mengancam model yang ada saat ini di mana Australia memproduksi bijih besi dalam jumlah besar yang diubah menjadi baja dalam tanur sembur dan tanur oksigen dasar (BOF), proses yang membutuhkan penggunaan batu bara kokas.
“Produksi baja China tetap stagnan selama lima tahun terakhir di sekitar level 1 miliar ton per tahun, dan sebagian besar analis yang hadir pada Global Iron Ore and Steel Outlook Conference di Perth pekan ini memperkirakan bahwa produksi akan menurun secara bertahap dalam beberapa tahun mendatang,” kata Russell seperti dilansir Reuters, Kamis (21/3/2024).
Hal ini sebagian disebabkan karena pembangunan infrastruktur dan perumahan di China akan berkurang, namun juga karena China akan semakin banyak menggunakan baja bekas di tanur busur listrik untuk menghasilkan produk baja baru.
Meskipun para penambang bijih besi Australia mungkin dapat mengimbangi hilangnya sebagian permintaan dari China dengan menjual ke produsen baja yang lebih baru di Asia Tenggara, namun kemungkinan besar pasar bijih besi secara keseluruhan akan segera mengalami penurunan.
Komposisi bijih besi juga kemungkinan akan berubah, kata Russell, dengan bijih besi dengan kadar yang lebih tinggi lebih disukai karena dapat lebih mudah digunakan sebagai bahan baku bersama dengan skrap dalam tanur busur listrik.
Bijih besi dengan kadar yang lebih tinggi juga dapat dengan lebih mudah ditingkatkan menjadi reduksi langsung (direct reduction iron/DRI), yang pada gilirannya dapat diubah menjadi baja tanpa menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Membuat baja menggunakan DRI yang diproduksi dengan hidrogen hijau dan energi terbarukan adalah salah satu cara yang dipikirkan oleh industri untuk mengurangi emisi karbon.
Bahkan penggunaan gas alam untuk membuat DRI dapat mengurangi emisi hingga 75 persen. Masalahnya adalah DRI sulit untuk diekspor karena mudah menguap, sehingga cenderung dibuat di lokasi yang sama dengan tungku baja.
“Jadi, jika penambang bijih besi Australia ingin meningkatkan rantai nilai baja, mereka harus menemukan cara untuk memproduksi DRI dan mengubahnya menjadi baja di Australia, dengan menggunakan energi terbarukan,” jelas Russell.
Cara lainnya adalah meningkatkan bijih besi menjadi besi briket panas (hot briquette iron, HBI), yang merupakan bentuk upgrade dari DRI, di mana DRI dikonversi menjadi bentuk yang lebih padat dengan menggunakan panas. HBI dapat dikirim, dan dapat digunakan dalam tungku busur listrik atau unit oksigen dasar.
“Jika penambang bijih besi Australia memutuskan untuk meningkatkan produk mereka, mereka akan membutuhkan investasi yang signifikan, dan tidak ada kepastian bahwa produk yang ditingkatkan akan memberikan margin yang cukup tinggi,” kata dia.
Sebagai contoh, jika penambang bijih besi sepakat dengan pelanggannya di Cina, Jepang dan Korea Selatan untuk memasok HBI dan bukannya bijih besi halus. Maka hal ini akan membutuhkan investasi yang sangat besar dan signifikan dalam sistem energi bersih.
"Industri perlu melakukan pertimbangan bisnis yang matang sekaligus merespon arah kebijakan dunia yang mulai beralih ke energi yang lebih bersih," kata Russell.