ESGNOW.ID, JAKARTA — Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang disahkan bulan lalu menunjukkan energi surya diproyeksi menjadi tulang punggung transisi energi. Porsi energi surya dalam bauran energi baru terbarukan RUPTL terbaru mencapai 17,1 gigawatt.
Wakil Ketua Dewan Pakar Bidang Riset dan Teknologi Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Arya Rezavidi, menilai lahan bekas tambang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi lokasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), khususnya skala utilitas. Pemanfaatan lahan tidak produktif ini dinilai dapat menekan biaya investasi sekaligus mempercepat transisi energi.
"Banyak bekas tambang yang sudah ditinggalkan, bahkan ada yang berubah menjadi danau. Ini bisa dimanfaatkan untuk PLTS, baik yang terapung maupun yang darat," ujar Arya dalam acara peluncuran Solar Academy Indonesia 2025, Kamis (19/6/2025).
Arya mencontohkan pemanfaatan bekas lahan tambang milik PT Adaro Energy di Kalimantan. Perusahaan tersebut telah mengubah danau bekas tambangnya menjadi PLTS terapung, sekaligus menjadi percontohan bagi pengembangan energi terbarukan di sektor pertambangan.
Ia menjelaskan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pemanfaatan lahan eks tambang yang umumnya berada di luar Pulau Jawa dan jauh dari pusat permintaan listrik. Karena itu, sebagian besar pemanfaatan PLTS di lokasi tersebut sejauh ini masih terbatas untuk kebutuhan internal perusahaan tambang.
“Untuk dijual ke PLN, saya belum banyak dengar karena tambang-tambang itu kan jauh dari pusat beban listrik. Tapi ke depan dengan adanya RUPTL 2025–2034, wilayah luar Jawa akan lebih banyak masuk dalam rencana pembangunan pembangkit,” ujar Arya.
