Ia menekankan, pembangunan PLTS skala besar membutuhkan lahan luas, yang sulit dan mahal jika dilakukan di daerah perkotaan. Karena itu, lahan bekas tambang menjadi alternatif yang menarik karena nilai ekonominya sudah menurun dan bisa disewa dengan biaya lebih rendah.
“Di Jawa atau kota-kota besar, harga tanah mahal. Sementara di lahan bekas tambang, nilai tanahnya sudah tidak signifikan. Ini membuat investasi PLTS jadi lebih murah,” jelasnya.
Arya juga menyoroti potensi kerja sama antara perusahaan tambang dan pengembang energi surya swasta. Ia mengatakan, pembangunan PLTS dalam RUPTL diarahkan untuk dilakukan oleh swasta dan menjual listriknya ke PLN. Untuk itu, diperlukan sinergi antara pengembang dan pemilik lahan bekas tambang.
“Bisa saja perusahaan tambang menyewakan lahannya kepada pengembang energi, atau mereka sendiri yang membangun PLTS. Tapi karena bisnis utama mereka tambang, tentu akan berbeda pendekatannya,” ungkap Arya.
Menurut dia, perusahaan pengembang PLTS yang ingin menjual listrik ke PLN harus terlebih dahulu terdaftar dalam daftar resmi PLN. Kemudian, mereka dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan tambang untuk memanfaatkan lahan bekas galian sebagai lokasi pembangunan.
