ESGNOW.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa tahun terakhir, Antartika dilanda serangkaian gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada tanggal 6 Februari 2020, suhu tercatat sebesar 18,3 derajat Celcius, suhu tertinggi yang pernah terjadi di benua ini, mengalahkan rekor sebelumnya yaitu 17,5 derajat Celcius yang dicapai beberapa tahun sebelumnya.
Sekitar bulan Februari 2022, gelombang panas yang kuat di Antartika menyebabkan pencairan es di permukaan yang memecahkan rekor. Pada bulan Maret di tahun yang sama, Antartika Timur mengalami gelombang panas terkuat yang pernah ada, dengan suhu melonjak hingga 30 derajat Celcius atau 40 derajat Celcius lebih tinggi dari rata-rata di beberapa daerah.
“Selama setahun terakhir, kita telah melihat tingkat cakupan es laut Antartika yang paling rendah sejak pencatatan dimulai. Kejadian-kejadian dalam beberapa tahun terakhir ini hampir tidak dapat dipercaya, dan sulit untuk tidak mengaitkannya dengan perubahan iklim,” kata Sergi Gonzalez Herrero, Ilmuwan iklim dan atmosfer di WSL Institute for Snow and Avalanche Research (SLF) di Davos, Swiss.
Faktanya, telah banyak penelitian yang secara jelas mengaitkan beberapa gelombang panas ini dengan pemanasan global. Salah satu investigasi yang dilakukan Herrero menunjukkan bahwa tanpa pengaruh perubahan iklim, suhu yang memecahkan rekor pada tahun 2020 tidak akan terjadi.
Pada tahun 2009, sebuah penelitian mengukur kecepatan migrasi ekosistem akibat perubahan iklim dalam skala global, dan pada dasarnya mendokumentasikan kecepatan perpindahan spesies tertentu untuk memastikan kelangsungan hidupnya. Studi tersebut menyimpulkan bahwa bioma bergerak dengan kecepatan antara 0,8 kilometer dan 12,6 kilometer per dekade, dengan kecepatan rata-rata 4,2 kilometer per dekade.
Dalam penelitian terbaru yang dilakukan Herrero, ia mengadaptasi pengukuran kecepatan ini dan menerapkannya pada tepian Antartika. Untuk melakukan ini, Herrero dan tim melacak migrasi isoterm nol derajat ke arah Selatan.
Isoterm nol derajat adalah garis imajiner yang melingkupi area yang berada pada suhu nol derajat atau lebih rendah. Pergerakan ke arah selatan berarti bahwa area dengan suhu di bawah nol derajat Celcius di Antartika semakin mengecil. Mengingat air membeku pada suhu nol derajat, kata Herrero, pergerakan ini akan menimbulkan konsekuensi serius bagi ekosistem dan kriosfer (area di Bumi di mana air membeku).
“Perhitungan kami menunjukkan bahwa isoterm nol derajat telah bergerak dengan kecepatan 15,8 kilometer per dekade sejak tahun 1957 di daerah sekitar Antartika, sementara di semenanjung Antartika sendiri bergerak dengan kecepatan 23,9 kilometer per dekade. Akibatnya, saat ini, Antartika berada lebih dari 100 kilometer di selatan dari posisinya pada pertengahan abad ke-20,” jelas Herrero seperti dilansir Phys, Senin (25/3/2024).
Pengukuran ini menunjukkan bahwa kecepatan perubahan iklim di tepi Antartika empat kali lebih cepat daripada rata-rata ekosistem lainnya.
Untuk memprediksi konsekuensi dari migrasi isoterm nol derajat ke arah selatan, Herrero menjalankan data melalui dua puluh model iklim yang berbeda. Meskipun terdapat beberapa variasi dalam pergeseran isoterm di antara model-model tersebut, semua model sepakat bahwa isoterm akan bergerak lebih jauh ke arah selatan dalam beberapa dekade mendatang.
Model-model tersebut juga memprediksi bahwa selama beberapa dekade mendatang, pergerakan isoterm akan semakin cepat terlepas dari tingkat emisi. Namun, sejauh mana pergerakan ke arah selatan pada paruh kedua abad ke-21 akan bergantung pada seberapa banyak karbon yang kita hasilkan.
“Jika kita terus melanjutkan tingkat emisi saat ini, isoterm nol derajat akan terus bergerak maju dengan kecepatan yang sama sebelum melambat pada paruh kedua abad ke-21. Namun, jika emisi lebih tinggi, migrasi isoterm akan semakin cepat dan terus bergerak ke arah selatan hingga akhir abad ini,” tegas Herrero.
Pergerakan isoterm nol derajat ke arah selatan tidak hanya akan bertahan di atmosfer, tetapi juga akan memengaruhi kriosfer (semua area beku di Antartika) dan biosfer (spesies yang hidup di sana). Perubahan posisi isoterm akan berarti lebih banyak hujan cair dan bukannya salju di daerah terluar benua, meskipun sebenarnya dapat menyebabkan peningkatan curah hujan salju di daerah lain.
“Berkurangnya curah salju di laut yang membeku, yang berfungsi sebagai penyekat, dapat menyebabkan percepatan hilangnya es laut selama periode pencairan di musim panas,” kata dia.
Meskipun efeknya terhadap lapisan es masih belum diketahui secara pasti, namun tidak diragukan lagi akan memengaruhi gletser perifer di Semenanjung Antartika. Ini merupakan salah satu sumber potensial terbesar kenaikan permukaan laut dalam beberapa dekade mendatang.