ESGNOW.ID, JAKARTA -- Penggiat konservasi Akbar Ario Digdo menyoroti pentingnya menjaga ekosistem padang lamun di Indonesia, salah satunya untuk upaya konservasi satwa termasuk dugong (Dugong dugon) yang masuk dalam daftar rentan terancam punah.
Dalam diskusi Pekan Keanekaragaman Hayati 2024 secara daring kemarin, CEO YAPEKA Akbar Ario Digdo menjelaskan bahwa dugong yang habitatnya banyak ditemukan di Indonesia keberadaannya terancam karena aktivitas manusia.
"Problem terbesar kita salah satunya karena lamun itu jaraknya tidak jauh dari permukiman biasanya. Artinya sangat mungkin diuruk dijadikan infrastruktur," ujar Akbar dalam diskusi yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tersebut.
Tidak hanya ancaman terhadap eksistensi sumber makanan, keberadaan lamun yang tidak jauh dari permukiman masyarakat juga membuat hewan yang dikenal juga sebagai duyung itu memiliki potensi besar berinteraksi dengan manusia.
Pria yang menjadi anggota Komisi Penyelamatan Spesies International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) itu menjelaskan meski berada dalam kategori rentan daftar merah IUCN tapi keberadaan dugong di Tanah Air terfragmentasi atau terpisah-pisah ekosistemnya.
Padahal, kata dia, posisi Indonesia sangat signifikan karena memiliki 30-40 persen habitat yang bisa digunakan oleh dugong. Mengingat luas padang lamun yang mencapai 293.464 hektare, menurut kajian pada 2018 yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Habitat Indonesia dalam bentuk lamun menjadi daerah lintasan menghubungkan beberapa populasi yang ada di Filipina, Australia, di Laut Andaman, dan laut-laut sekitarnya. Jadi posisi sebagai sebuah negara yang memangku spesies dugong itu sangat signifikan sebetulnya," kata Akbar.
Selain peran dalam rantai makanan satwa rentan, padang lamun juga memiliki peran dalam upaya penanganan perubahan iklim.
Indonesia rencananya akan menambah sektor kelautan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kedua yang saat ini tengah dipersiapkan, didalamnya menggali potensi penyerapan dan penyimpanan karbon oleh ekosistem mangrove dan padang lamun. Dokumen itu, menurut pernyataan KLHK, rencananya akan diserahkan kepada Sekretariat UNFCCC pada Agustus 2024