ESGNOW.ID, JAKARTA -- Pengembangan lahan sawit di Boven Digoel, Papua Selatan dan di Sorong, Papua Barat Daya disebut dapat menghancurkan mata pencarian masyarakat adat Awyu dan Moi. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante yang mengawal perjuangan suku Awyu dan Moi, masyarakat adat di sana sangat bergantung pada tanah dan hutan.
"Jadi misalnya meramu, berburu, berburu mencari ikan atau berburu hewan-hewan di hutan. Jadi ketika perusahaan sawit datang ke dua distrik yakni Jair dan Mandopo berdampak pada kehidupan mereka, terutama pada masyarakat yang tinggal berbatasan langsung dengan perusahaan," kata Franky saat dihubungi Republika, Jumat (7/6/2024).
Franky mengatakan, gangguan pada mata pencarian juga akan mempengaruhi sumber pendapatan dan pola konsumsi masyarakat. Ia menjelaskan, sumber pangan masyarakat berasal dari hutan. Begitu akses ke hutan terbatas karena adanya perkebunan sawit, maka semakin terbatas pula pemenuhan sumber pangan mereka.
"Memang biasanya mereka mendapat makanan tidak hanya dari hutan. Beli di toko, di warung tapi kan yang kami lihat makan-makanan yang tidak berkualitas seperti mi instan tidak sebanding daging atau ikan. Jadi mereka kalau berburu mereka pilih mana yang berkualitas untuk dikonsumsi," kata Franky.
Franky mengatakan, masyarakat juga menggunakan hutan untuk memperoleh pendapatan karena sebagian dari hasil tani atau berburu juga bawa ke pasar. Berkurang atau hilangnya pendapat akan berpengaruh lebih luas pada pendidikan dan kesehatan.
"Memang sebagian dari pendidikan gratis tapi mereka perlu juga terutama bagi anak-anak yang sekolah di luar kampung. Biasanya mereka melanjutkan sekolah ke SMP di kota, ke kota akan perlu ongkos. Jadi pengaruhnya di sana," tambahnya.
Menurutnya, kesehatan masyarakat juga akan terpengaruh. Ia mengakui perusahaan-perusahan menyediakan perawat-perawat tapi tidak setiap saat masyarakat dapat pelayanan atau mendapatkan obat yang layak.
"Minimnya pendapatan atau bahkan kurangnya pendapatan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan itu. Tapi yang paling berdampak itu kalau misalnya dulu mereka bisa konsumsi obat di hutan atau sekitar kampung tapi sekarang semakin rumit kalau ada perusahaan. Obat herbal," katanya.
Ia lalu menceritakan kronologi keberadaan perusahaan sawit di Boven Digoel. Franky mengatakan, ada dua perusahaan yang beroperasi di sana. Kedua perusahaan itu adalah PT MKJ di kampung Anggai di distrik Jair dan PT TSE di kampung Getentiri di distrik Jair.
"Yang digugat ini perusahaan baru. Empat kecamatan di Boven Digoel yang terancam perkebunan sawit: Fofi, Mandobo, Jair, Kali Kia berada di satu hamparan luas. Di situ ada delapan perusahaan."
Terkait alih fungsi hutan adat menjadi kebun sawit, Staf Khusus (Stafsus) Presiden Bidang Inovasi, Pendidikan dan Daerah Terluar, Billy Mambrasar, sudah menyerahkan rekomendasi kebijakan kepada Presiden Joko Widodo. Rekomendasi itu telah diserahkan kepada Presiden di Istana Merdeka, Rabu (5/5/2024).
"Presiden mendengarkan aspirasi dari masyarakat adat suku Awyu di Papua Selatan dengan harapan agar hutan adat tidak beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit," katanya.
Menurut Billy, dalam memo rekomendasi kebijakan tersebut, ada tiga poin yang diajukan kepada Presiden. Pertama, meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meninjau ulang Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan perizinan yang ada.
Kedua, memberikan pengarahan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) agar menyusun kerangka pembangunan Tanah Papua secara menyeluruh, dengan memasukkan komponen perlindungan hutan sebagai sumber hidup dan juga perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Ketiga, mendorong konsep pembangunan ekonomi Papua berdasarkan aspirasi masyarakat adat di Tanah Papua, termasuk di dalamnya menggerakkan alternatif ekonomi yang bersumber dari industri yang tidak merusak lingkungan.