ESGNOW.ID, NEW YORK -- Dokter dan pakar kesehatan menyatakan perubahan iklim yang didorong bahan bakar fosil menaikkan suhu udara ke tingkat yang berbahaya. Perubahan iklim juga memperburuk kekeringan dan kelangkaan pangan.
Berdasarkan laporan tahunan Lancet Countdown yang berdasarkan hasil kerja puluhan pakar, institusi akademik dan lembaga-lembaga PBB seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), suhu udara tahun 2023 menjadi yang terpanas yang pernah tercatat. Hal ini artinya setiap orang mengalami hari-hari panas yang berbahaya 50 hari lebih banyak dibandingkan tanpa perubahan iklim.
Orang lanjut usia merupakan kelompok paling rentan terhadap kenaikan suhu bumi. Kematian orang berusia di atas 65 tahun lebih tinggi 167 persen dibandingkan kematian serupa pada tahun 1990-an. Di Lancet Countdown, para peneliti mengatakan tanpa perubahan iklim kematian tersebut hanya akan naik 65 persen.
"Dari tahun ke tahun, kematian yang berkaitan langsung dengan perubahan iklim semakin meningkat, namun panas juga berdampak tidak hanya pada kematian dan naiknya angka kematian, tapi juga meningkatkan penyakit dan patologi yang berkaitan dengan paparan panas," kata Direktur Eksekutif Lancet Countdown, Marina Belen Romanello, Rabu (30/10/2024).
Ia mencontoh orang yang berolahraga di luar ruangan semakin berisiko mengalami penyakit yang berkaitan dengan paparan panas. Perusahaan-perusahaan juga terdampak karena kapasitas pekerjaan di luar ruangan semakin terbatas.
Lancet Countdown mengatakan tahun lalu panas ekstrem diperkirakan menghilangkan 512 jam potensi pekerjaan di luar ruangan yang nilainya ratusan miliar dolar AS. "Serupa dengan apa yang terjadi saat pandemi Covid-19, pekerja penting biasanya yang paling terpapar panas dan tidak bisa melindungi diri dengan mudah selama gelombang panas, seperti mereka yang bekerja di rumah sakit tanpa pendingin ruangan atau pekerja konstruksi," kata ilmuwan data di King's College London Nathan Cheetham yang tidak terlibat dalam penelitian Lancet Countdown.
Para penulis laporan Lancet Countdown mengatakan, perubahan iklim juga memperlemah ketahanan pangan. Para peneliti mengatakan tahun lalu sekitar 48 persen lahan dunia mengalami kekeringan ekstrem dibandingkan tahun 1981 sampai 2010. Hal ini menyebabkan 151 juta orang mengalami kelangkaan pangan.
Curah hujan ekstrem tahun lalu juga berdampak pada hampir 60 persen lahan. Memicu banjir dan meningkatkan resiko pencemaran air dan penyakit menular.
Para penulis penelitian ini mendesak Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) yang akan datang untuk membahas pendanaan iklim ke arah kesehatan masyarakat. COP29 akan dimulai pada tanggal 11 November di Baku, Azerbaijan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meminta negara-negara untuk “menyembuhkan penyakit kelambanan iklim” dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan emisi. "(Untuk) menciptakan masa depan yang lebih adil, lebih aman, dan lebih sehat bagi semua," katanya.