Sabtu 16 Nov 2024 07:09 WIB

Teknologi Penyerapan dan Penyimpanan Karbon Pilar Penting Capai NZE 2060

Indonesia berpotensi menjadi pusat regional CCS di Asia Pasifik.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Emisi karbon (ilustrasi)
Foto: Piaxabay
Emisi karbon (ilustrasi)

ESGNOW.ID,  BAKU -- PT Pertamina (Persero) menyoroti langkah-langkah inovatif dalam pengembangan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). Teknologi ini dipandang sebagai pilar penting dalam upaya Indonesia mencapai target net zero emission pada tahun 2060.  

SVP Technology Innovation Pertamina Oki Muraza mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar dalam mengelola emisi karbon melalui CCS dan CCUS. "Kami memiliki solusi berbasis alam terbesar kedua di dunia, dengan hampir 50 persen hutan yang masih terjaga. Namun, ini saja tidak cukup. Kami juga diberkati dengan kapasitas penyimpanan karbon yang signifikan," ujar Oki dalam diskusi di Paviliun Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29), Jumat (15/11/2024)

Baca Juga

Oki menjelaskan, Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang terukur hingga tujuh gigaton CO2. Kapasitas ini sangat penting dalam mendukung target pengurangan emisi hingga 68 persen melalui CCS dan CCUS. Pertamina telah melakukan sejumlah proyek percontohan, termasuk injeksi karbon di Jatibarang dan Sokowati.  

"Dalam dua bulan terakhir, kami telah menyelesaikan injeksi di Sokowati, Bojonegoro, dengan kapasitas 2.500 ton CO2, dan bulan ini kami merencanakan injeksi tambahan hingga 3.000 ton," tambahnya.  

Selain itu, Oki menyebutkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi pusat regional CCS di Asia Pasifik. "Banyak negara maju seperti Jepang, Korea, dan Singapura tidak memiliki kapasitas penyimpanan karbon. Mereka akan bergantung pada kapasitas yang kami miliki. Ini menjadi peluang besar bagi Indonesia," jelasnya.  

Pertamina sedang membangun ekosistem CCS yang mencakup seluruh rantai nilai, mulai dari sumber emisi, penangkapan, hingga penyimpanan dan pemanfaatan karbon. "Sebagian besar biaya CCS terkait dengan proses penangkapan karbon. Untuk itu, kami memanfaatkan berbagai sumber emisi, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara, kilang minyak, hingga fasilitas produksi lainnya," ungkap Oki.  

Teknologi yang dikembangkan Pertamina juga mencakup pemanfaatan CO2 untuk berbagai produk, seperti bahan kimia dan e-metana. Salah satu proyek unggulan berada di Gresik, di mana Pertamina melalui Petro Oxo Nusantara (PON) mulai menghilangkan CO2 dari aliran industri untuk berbagai kebutuhan, termasuk pengelasan dan industri makanan.  

Oki menegaskan, proyek CCS dan CCUS membutuhkan kolaborasi lintas sektor. "Kami telah membangun sembilan proyek CCS di Sumatera hingga Indonesia Timur, termasuk proyek besar di Cekungan Asri di lepas pantai utara Jawa. Dalam beberapa tahun ke depan, kami akan fokus membuktikan konsep kapasitas penyimpanan di wilayah ini," katanya.  

Namun, pengembangan CCS dan CCUS tidak terlepas dari tantangan besar, terutama dari sisi pendanaan. "CCS adalah proyek dengan modal besar. Untuk itu, kami membutuhkan kerangka regulasi yang mendukung, termasuk insentif fiskal dan perdagangan karbon," jelas Oki.  

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah peraturan, seperti Peraturan Presiden (Perpres) 2024, untuk memperkuat ekosistem energi transisi. Di tingkat internasional, Pertamina berharap ada komitmen negara maju dalam menyediakan pendanaan bagi negara berkembang, sebagaimana diamanatkan oleh Protokol Kyoto.  

"Dukungan dari negara maju, seperti Jepang melalui METI dan JOGMEC, serta kolaborasi dengan perusahaan internasional seperti ExxonMobil dan Chevron, sangat krusial untuk keberhasilan proyek CCS ini," tambahnya.  

Pertamina optimistis bahwa CCS dan CCUS akan menjadi solusi masa depan untuk mencapai net zero emission sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi. "Kami ingin memiliki PDB per kapita setara dengan negara maju, namun tetap menjaga jejak karbon yang rendah," kata Oki.  

Oki menutup presentasinya dengan mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam menciptakan ekosistem energi yang berkelanjutan. "Dan tentu saja, kami perlu mengingatkan kembali komitmen Protokol Kyoto, di mana ada kewajiban negara maju untuk menyediakan modal bagi negara berkembang, dari global utara ke global selatan. Jika tidak, akan menjadi tantangan bagi kami, karena kami juga harus menyiapkan banyak Capex (Capital Expenditure) untuk pertumbuhan ekonomi," pungkasnya. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement