ESGNOW.ID, BAKU -- Sejumlah negosiator Konferensi Perubahan Iklim PBB ke -29 (COP29) menyebut kesepakatan dana iklim senilai 300 miliar dolar AS per tahun sebagai "ejekan pada keadilan". Negara-negara berkembang meminta negara-negara kaya menyediakan dana sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun untuk membantu mereka mengurangi emisi karbon dan mengatasi dampak krisis iklim.
Namun, kesepakatan akhir menetapkan komitmen hanya sebesar 300 miliar dolar AS per tahun, sementara 1,3 triliun dolar AS hanya sebagai target. Jumlah tersebut merupakan peningkatan dari janji sebelumnya sebesar 100 miliar dolar AS, tetapi negosiator untuk India Chandni Raina, mengatakan angka tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan yang dibutuhkan.
"Menurut opini kami, (janji) ini tidak mengatasi besarnya tantangan yang kami semua hadapi," kata Raina seperti dikutip dari the Guardian, Senin (25/11/2024).
Bagi Raina, yang merupakan penasihat untuk departemen urusan ekonomi India, bukan hanya targetnya sendiri yang menyebabkan kemarahan, tetapi juga proses yang digunakan untuk menyelesaikannya. Beberapa jam sebelum berakhirnya COP29, para delegasi dari AS, Kolombia dan beberapa negara Afrika terlihat sedang meneliti dokumen beramai-ramai.
Draf-draf tersebut diedarkan sebelum dibagikan kepada publik. Pada COP29 juga muncul desas-desus tentang kesepakatan pada menit-menit terakhir. Raina mengatakan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), yang mengadakan COP, dimaksudkan untuk mengambil keputusan melalui konsensus.
Ia mengatakan India berencana untuk membuat pernyataan yang berbeda pendapat sebelum keputusan tersebut diadopsi tetapi tidak diberi kesempatan untuk melakukannya. Raina mengatakan janji senilai 300 miliar dolar AS itu diatur sedemikian rupa. “Dokumen ini tidak lebih dari sebuah ilusi optik,” katanya.
Kepada the Guardian, Raina menyebut adopsi tujuan tersebut "keterlaluan”. “Ini benar-benar sebuah ejekan terhadap keadilan,” katanya.
Ia menambahkan Presidensi COP29 tidak mengadopsi item negosiasi utama lainnya, yang dikenal sebagai dialog UEA. Dokumen yang merupakan tindak lanjut dari komitmen untuk “beralih dari bahan bakar fosil” yang dibuat tahun lalu di COP28 ditolak karena beberapa negara mengatakan dokumen tersebut terlalu lemah.
Raina mengatakan seharusnya item pendanaan iklim diperlakukan dengan cara yang sama. “Tidak jelas apa legalitasnya di sini,” ujarnya.
Advokat dari lembaga swadaya masyarakat asal Inggris, Climate Action Network, Catherine Pettengell mengatakan bahwa pilihan-pilihan prosedural tersebut dapat mengikis kepercayaan terhadap proses-proses iklim PBB.