Senin 02 Dec 2024 17:39 WIB

PBB: Butuh 2,6 Triliun Dolar AS untuk Merestorasi Lahan yang Terdegradasi

Negara-negara perlu menetapkan target yang lebih ambisius.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
 Peternakan sapi di lahan yang dibakar dan digunduli oleh peternak sapi di dekat Novo Progresso, negara bagian Para, Brasil, Ahad (23/8/2020).
Foto: AP / Andre Penner
Peternakan sapi di lahan yang dibakar dan digunduli oleh peternak sapi di dekat Novo Progresso, negara bagian Para, Brasil, Ahad (23/8/2020).

ESGNOW.ID,  RIYADH -- Sekretaris Eksekutif Konvensi PBB untuk Mengatasi Penggurunan (UNCCD) Ibrahim Thiaw mengatakan dibutuhkan investasi setidaknya 2,6 triliun dolar AS (sekitar Rp 41 ribu triliun) sampai akhir dekade ini untuk memulihkan lahan yang terdegradasi dan mempertahankan gurun yang masih ada. Hal ini disampaikan sebelum pertemuan UNCCD di Riyadh, Arab Saudi, pada 2-13 Desember 2024.

Thiaw mengatakan semakin seringnya dan parahnya kekeringan akibat perubahan iklim ditambah meningkatnya kebutuhan pangan karena bertambahnya populasi, meningkatkan risiko degradasi lahan. Kecuali, tambahnya, bila ada tindakan untuk mencegahnya.

Pertemuan UNCCD di Riyadh bertujuan untuk memperkuat daya tahan dunia pada kekeringan. Seperti memperkuat kewajiban hukum negara-negara, memaparkan strategi untuk langkah berikutnya dan mengamankan pendanaan.

Thiaw mengatakan sebagian besar dana sekitar 1 miliar dolar AS per hari yang diperlukan untuk menjaga restorasi lahan berasal dari sektor swasta.

“Sebagian besar investasi restorasi lahan di dunia berasal dari uang publik. Dan itu tidak benar. Karena pada dasarnya pendorong utama degradasi lahan di dunia adalah produksi pangan yang berada di tangan sektor swasta,” ujar Thiaw, Senin (2/12/2024).

Ia menambahkan hingga saat ini sektor swasta hanya menyediakan 6 persen dari dana yang dibutuhkan untuk merehabilitasi lahan yang rusak. "Bagaimana bisa di satu sisi kita merusak lahan dan di sisi lain kita memiliki tanggung jawab untuk memulihkan dan memperbaikinya," kata Thiaw.

Ia mengakui tanggung jawab pemerintah untuk menetapkan dan menegakkan kebijakan dan peraturan penggunaan lahan yang baik. Thiaw mengatakan pertumbuhan populasi mendorong dunia harus menghasilkan pangan dua kali lebih banyak dengan luas lahan yang sama, maka investasi sektor swasta menjadi krusial.

Seperti dua pertemuan PBB sebelumnya yakni Pertemuan Keanekaragaman Hayati pada bulan Oktober, Pertemuan Perubahan Iklim dan Negosiasi Perjanjian Polusi Plastik bulan November, isu keuangan juga menjadi fokus dalam pertemuan di Arab Saudi.

PBB mengatakan untuk mendapatkan 2,6 triliun dolar AS yang hampir setara dengan pendapatan tahunan Prancis, dunia harus menutupi kekurangan sebesar 278 miliar dolar AS. Sebab baru 66 miliar dolar AS yang diinvestasikan dalam upaya restorasi lahan pada tahun 2022.

Penelitian yang didukung PBB mengatakan degradasi lahan "merongrong kemampuan bumi menopang kehidupan manusia" dan kegagalan memulihkan keadaan ini akan menjadi tantangan bagi generasi-generasi berikutnya.

Penelitian yang dirilis pada Ahad (1/12/2024) itu mengungkapkan saat ini sudah sekitar 15 juta kilometer persegi lahan yang terdegradasi, dan terus bertambah sekitar 1 juta kilometer persegi setiap tahunnya. Thiaw mengakui mendapatkan kesepakatan untuk memperkuat kewajiban hukum negara-negara, akan menjadi salah satu kesepakatan yang paling sulit untuk dicapai. Ia menambahkan beberapa negara "belum siap untuk memiliki instrumen yang mengikat secara hukum" sementara negara lain merasa hal itu penting.

Meskipun sudah ada komitmen untuk melindungi sekitar 900 juta hektare lahan, negara-negara perlu menetapkan target yang lebih ambisius, yaitu 1,5 miliar hektar, dan mempercepat langkahnya.

Thiaw mengatakan kegagalan untuk menyepakati langkah-langkah untuk memulihkan lahan yang terdegradasi pada akhirnya akan merugikan upaya paralel yang dipimpin PBB untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca yang merusak iklim dan melindungi keanekaragaman hayati.

PBB mencatat pertanian menyumbang 23 persen emisi gas rumah kaca, 80 persen deforestasi, dan 70 persen penggunaan air tawar. "Sumber daya yang kita bicarakan ini bukanlah amal," kata Thiaw.

"Jadi, penting bagi kita untuk melihat hal ini bukan sebagai investasi bagi masyarakat miskin di Afrika, tetapi sebagai investasi yang akan menjaga keseimbangan dunia," tambahnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement