Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut bahwa 80 persen keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah masyarakat adat. Namun, UU KSDAHE di Indonesia justru mengecilkan peran mereka.
“Paradigma konservasi kita belum bergeser, padahal Masyarakat Adat terbukti menjadi aktor utama dalam menjaga biodiversitas,” ungkapnya.
Tommy Indyan dari Direktorat Advokasi kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Ia menekankan perlunya definisi yang jelas, mekanisme pendaftaran yang sederhana, dan pengakuan hak-hak perempuan, pemuda, serta anak-anak adat dalam RUU Masyarakat Adat.
“RUU yang ideal harus berbasis pada prinsip HAM dan mencakup mekanisme pemulihan hak, penyelesaian konflik, serta penguatan hak atas identitas budaya dan wilayah adat,” katanya.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam mencapai target KM-GBF secara inklusif. Langkah ini menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia.