ESGNOW.ID, JAKARTA — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menegaskan pentingnya pembahasan segera Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tahun 2025. Direktur Eksternal Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friatna menilai, RUU ini merupakan langkah krusial untuk memenuhi komitmen Indonesia terhadap konvensi internasional dalam penurunan emisi gas rumah kaca.
“Dan kemudian kami juga berharap DPR bisa seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jadi apa yang kami usulkan melalui DPD itu diusulkan oleh mereka. Mereka setuju untuk memasukkan atau mendorongnya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Jangan sampai DPD-nya itu peduli tapi kemudian DPR-nya karena situasi sekarang ini justru men-drop lagi," ujarnya di peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup 2025, Kamis (16/1/2025).
Ia menyoroti pengalaman pahit di masa lalu, di mana usulan terkait perlindungan masyarakat adat dan lingkungan sering kali hanya dicantumkan dalam Prolegnas tanpa pernah dibahas lebih lanjut. “Contohnya, usulan untuk perlindungan masyarakat adat sudah dimasukkan tapi tidak pernah dibahas. Kami berharap itu yang menjadi prioritas,” tambahnya.
RUU Keadilan Iklim bukan hanya untuk kepentingan lingkungan, tetapi juga untuk mendorong pemerintah agar bertanggung jawab terhadap komitmen internasional yang telah ditandatangani “Kami ingin mendorong pemerintah yang sudah terikat dengan konvensi-konvensi internasional terkait dengan penurunan emisi gas rumah kaca,” tegasnya.
Dalam konteks ini, ia juga mengingatkan tentang pentingnya Undang-Undang Konservasi yang tidak hanya melindungi hutan, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.
“Kita tidak ingin mengulangi tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat, seperti yang terjadi pada suku Togutil di Maluku dan suku Anak Dalam di Jambi, yang terpinggirkan dari ruang hidup mereka,” jelasnya.
Ia menambahkan, pemerintah harus menghindari klausul-klausul dalam undang-undang yang dapat mengkriminalisasi masyarakat, sementara memberikan kemudahan izin bagi kepentingan korporasi di kawasan konservasi.
Dalam kesempatan yang sama, Mukri juga membahas besarnya dampak pertambangan. Mukri mengatakan meskipun proyek food estate dapat menghancurkan ekosistem hutan, dampak dari pertambangan jauh lebih merusak.
“Food estate memang dapat menyebabkan deforestasi, tetapi jika ada kemauan untuk menanam kembali, hutan tersebut masih bisa tumbuh kembali. Namun, pertambangan tidak hanya merusak hutan, tetapi juga mengakibatkan perubahan besar pada lingkungan,” jelas Mukri.
Ia menambahkan kegiatan pertambangan tidak hanya berdampak pada hutan, tetapi juga mengakibatkan kerusakan yang lebih luas, termasuk pencemaran tanah dan air. “Perusahaan tambang sering kali tidak memiliki kewajiban untuk melakukan reklamasi setelah kegiatan mereka selesai. Hal ini sangat berbahaya bagi lingkungan,” tegasnya.
Mukri juga mengkritik undang-undang yang mengatur sektor pertambangan, yang menurutnya memberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk tidak melakukan reklamasi.
“Saat ini, banyak tambang yang ditinggalkan dalam kondisi yang sangat buruk, tanpa ada upaya untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan reklamasi yang tidak dilakukan dapat menyebabkan kerusakan permanen pada lingkungan, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati dan pencemaran sumber daya air.
“Perusahaan tambang tidak memiliki kewajiban untuk reklamasi. Ini bahaya besarnya untuk pertambangan” ungkap Mukri.