Jumat 24 Jan 2025 13:37 WIB

Ratusan Juta Anak Kehilangan Jam Belajar Akibat Krisis Iklim

Satu dari tujuh anak tidak bisa masuk sekolah karena bencana cuaca.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Anak sekolah berjalan melintasi banjir rob di kawasan Muara Angke Jakarta, Selasa (14/1/2025).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Anak sekolah berjalan melintasi banjir rob di kawasan Muara Angke Jakarta, Selasa (14/1/2025).

ESGNOW.ID,  CAPE TOWN -- Badan Dana Anak Persikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) melaporkan tahun lalu setidaknya 242 juta anak di 85 negara kehilangan waktu belajar di sekolah karena gelombang panas, badai, banjir dan cuaca ekstrem lainnya. UNICEF mengungkapkan, sepanjang 2024 satu dari tujuh anak di seluruh dunia tidak bisa masuk sekolah karena bencana cuaca.

Dalam laporannya, UNICEF menguraikan bagaimana ratusan sekolah di sejumlah negara hancur karena bencana yang berkaitan dengan cuaca. Negara-negara pendapatan rendah di Asia dan sub-Sahara menjadi negara-negara paling terdampak.

Baca Juga

Namun, wilayah lain tidak luput dari cuaca ekstrem, karena hujan lebat dan banjir di Italia menjelang akhir tahun mengganggu sekolah bagi lebih dari 900 ribu anak. Ribuan anak harus berhenti sekolah setelah banjir dahsyat di Spanyol.

Dalam laporannya, UNICEF mengatakan banjir di Eropa selatan serta badai, gelombang panas dan banjir di Asia dan Afrika tahun lalu memaksa banyak sekolah ditutup.

Lembaga PBB itu menambahkan pada bulan April saja lebih dari 118 juta anak kehilangan jam pelajaran di sekolah, sebagian besar di Timur Tengah dan Asia. Sementara itu gelombang panas mulai dari Gaza sampai Filipina, menaikan suhu mencapai 40 derajat Celsius lebih.  

"Anak-anak merupakan kelompok paling rentan terhadap krisis cuaca, termasuk gelombang panas, badai, kekeringan dan banjir yang lebih kuat dan sering," kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell, Jumat (24/1/2025).

Ia mengatakan tubuh anak-anak rentan terhadap krisis cuaca. Russell menjelaskan tubuh anak-anak lebih cepat panas dan lebih lambat dingin dari orang dewasa. Keringat anak-anak juga kurang efisien dalam mendinginkan tubuh dibanding orang dewasa.

"Anak-anak tidak dapat berkonsentrasi di ruang kelas yang tidak memberikan kelegaan dari panas yang menyengat, dan mereka tidak dapat pergi ke sekolah jika jalan yang mereka lalui banjir, atau jika sekolah tersapu banjir," kata Russell.

UNICEF mengatakan sekitar 72 persen anak-anak yang terdampak cuaca ekstrem berasal dari negara pendapatan menengah bawah. Hal ini menunjukkan cuaca ekstrem berdampak lebih buruk pada negara miskin.

Banjir merusak lebih dari 400 sekolah di Pakistan pada April tahun lalu. Gelombang panas yang diikuti banjir besar di Afghanistan merusak lebih dari 110 sekolah pada Mei.

Kekeringan yang diperburuk fenomena alam El Nino di Afrika mengancam pembelajaran di sekolah dan masa depan jutaan anak. Krisis iklim tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda.

Wilayah Prancis yang terletak di Samudra Hindia, Mayotte hancur akibat Badai Siklon Chido pada bulan Desember dan kemudian dihantam lagi oleh Badai Tropis Dikeledi pada bulan berikutnya. Akibat dari bencana ini, anak-anak di seluruh pulau tersebut tidak dapat bersekolah selama enam minggu.

Selain Mayotte, Siklon Chido juga menghancurkan lebih dari 330 sekolah dan tiga departemen pendidikan regional di Mozambik, yang terletak di daratan utama Afrika. Akses terhadap pendidikan di Mozambik sudah menjadi masalah serius, dan bencana ini memperburuk situasi tersebut.

UNICEF mengatakan sebagian besar sekolah-sekolah dan sistem pendidikan  di seluruh dunia tidak siap untuk menghadapi dampak dari cuaca ekstrem.  

sumber : AP
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement