Selasa 05 Aug 2025 15:06 WIB

Jelang COP30, Aruki Himpun Suara Korban Iklim Lewat Indonesia Climate Justice Summit

Kelompok rentan akan rumuskan solusi konkret hadapi krisis iklim secara adil.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Menjelang Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil pada November mendatang, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) akan menghimpun aspirasi masyarakat terdampak krisis iklim di Indonesia.  (ilustrasi)
Foto: Cop30
Menjelang Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil pada November mendatang, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) akan menghimpun aspirasi masyarakat terdampak krisis iklim di Indonesia. (ilustrasi)

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Menjelang Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil pada November mendatang, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) akan menghimpun aspirasi masyarakat terdampak krisis iklim di Indonesia. Aspirasi tersebut akan dikumpulkan melalui kegiatan Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) yang mengangkat tema “Gerakan Rakyat, Solusi Rakyat: Mengukur Keadilan Iklim dari Lokal ke Global.”

Ketua Panitia Pelaksana ICJS, Puspa Dewy, menyatakan bahwa tema tahun ini menegaskan pentingnya suara komunitas terdampak langsung sebagai kunci perjuangan keadilan iklim.

Baca Juga

“Nanti juga ada rumusan-rumusan untuk terwujudnya keadilan iklim, termasuk memperkuat posisi rakyat Indonesia menjelang COP30, bahkan di agenda-agenda atau forum-forum internasional lainnya dalam mewujudkan keadilan iklim,” kata Dewy, Selasa (5/8/2025).

Dewy menegaskan bahwa ICJS menjadi forum strategis untuk memperkuat solidaritas antarrakyat dan komunitas, serta mengembangkan solusi riil berbasis masyarakat, terutama mereka yang paling terdampak oleh krisis iklim.

Ia menjelaskan situasi krisis iklim yang belum terselesaikan oleh negara telah membawa dampak serius, tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga terhadap kemanusiaan dan hak asasi manusia. Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim menyebut kondisi iklim di Indonesia telah memasuki level darurat, lebih dari sekadar bencana biasa, karena dampaknya dirasakan langsung oleh kelompok masyarakat rentan.

Dewy merinci delapan kelompok rentan yang paling terdampak, yakni masyarakat adat, nelayan, masyarakat pesisir, petani, perempuan, masyarakat miskin kota, kaum muda, buruh dan pekerja informal, penyandang disabilitas, serta lansia dan anak-anak. “Kelompok-kelompok ini menanggung beban kerugian paling besar akibat bencana iklim, namun cenderung diabaikan dalam perumusan kebijakan dan aksi penanggulangan iklim selama ini,” ucap Dewy.

Oleh karena itu, lanjutnya, ICJS akan memfokuskan pembahasan dan dorongan kebijakan pada kelompok-kelompok terdampak tersebut. Ia juga menyebutkan kebijakan nasional maupun global yang ada saat ini belum menyentuh akar persoalan krisis iklim dan belum menerapkan prinsip keadilan iklim. Bahkan, beberapa solusi yang ditawarkan justru memperparah pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan.

Dalam diskusi di ICJS, Dewy menekankan pentingnya pengakuan negara terhadap inisiatif dan praktik komunitas dalam menghadapi krisis iklim. Forum ini dirancang sebagai ruang konsolidasi untuk berbagi pengalaman dan membentuk resolusi bersama yang akan didesakkan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan.

“Kami melihat respons iklim hari ini justru menambah kesenjangan dan pemiskinan terhadap kelompok-kelompok yang paling terdampak perubahan iklim,” tegasnya.

Hasil Temu Rakyat akan menjadi pijakan strategis dalam mendorong kebijakan keadilan iklim di Indonesia dan bagian penting dari peta jalan menuju COP30. Acara Temu Rakyat akan berlangsung pada 26–28 Agustus 2025, diikuti oleh 500 hingga 1.000 peserta dari berbagai wilayah dan kelompok rentan terdampak iklim. Mereka akan mengajukan solusi dan gagasan untuk mendesak pemerintah mengadopsi langkah konkret, termasuk mendukung pengesahan RUU Keadilan Iklim yang dinilai akan menjadi tonggak penting dalam gerakan keadilan iklim nasional.

Dewy menjelaskan penyusunan tema ICJS dilakukan melalui proses konsultasi panjang yang melibatkan berbagai komunitas rentan agar suara mereka terakomodasi secara bermakna. “Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim sejak 2024 hingga saat ini telah melakukan konsultasi rakyat di berbagai daerah. Setidaknya ada 13 wilayah yang menggelar konsultasi rakyat dengan melibatkan delapan subjek rentan untuk mendengar situasi, pengalaman, maupun usulan kebijakan demi memastikan perlindungan rakyat dari krisis iklim,” ujar Dewy.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by ESG Now (@esg.now)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement