ESGNOW.ID, JAKARTA -- Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dikhawatirkan menyasar masyarakat adat. Muhammad Arman, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan peraturan ini menimbulkan kebingungan terkait penertiban kawasan hutan, terutama bagi masyarakat adat yang telah lama mendiami wilayah tersebut.
Arman, menjelaskan Pasal 110A dan 110B dari Cipta Kerja menyatakan masyarakat yang telah tinggal di kawasan hutan minimal selama lima tahun diperbolehkan untuk mengelola maksimal lima hektare. Maka berdasarkan pasal itu, jika Peraturan Presiden Penertiban Kawasan Hutan diterapkan, seharusnya tidak menyasar masyarakat adat.
"Kekhawatiran kami pertama adalah karena ini kalimatnya penertiban, artinya penegakan hukum yang lebih dominan," ujarnya, Jumat (31/1/2025).
Arman juga menyoroti kurangnya transparansi dari pemerintah mengenai perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara ilegal. "Sampai hari ini, pemerintah tidak pernah mengeluarkan informasi mengenai seberapa banyak perusahaan yang melanggar perizinan," katanya.
Hal ini, menurutnya, menciptakan bias dalam penegakan hukum, di mana masyarakat adat sering kali menjadi korban pemindahan paksa dari kawasan hutan yang mereka huni. Lebih lanjut, Arman mempertanyakan struktur kepemimpinan dalam penegakan peraturan ini yang disebut Satgas.
"Agak aneh, karena ketua penegak hukumnya adalah menteri pertahanan, dan ketua pelaksana adalah jaksa agung. Kenapa bukan kementerian kehutanan yang memang punya kewenangan mengurus hutan selama ini? Ini adalah satu hal yang perlu dipertanyakan," katanya.
Ketua pengarah Satgas merupakan Menteri Pertahanan, dengan wakil ketua I yaitu Jaksa Agung, wakil ketua II Panglima TNI, dan wakil ketua III yaitu Kapolri. Menurutnya hal ini menunjukkan adanya ketidakselarasan dalam pengelolaan kawasan hutan yang seharusnya melibatkan pihak yang berkompeten.
Ia juga menyoroti pernyataan Menteri Kehutanan mengenai rencana untuk mengalihfungsikan kawasan hutan seluas 20 juta hektare untuk keperluan pangan. Namun, Arman menegaskan 70 persen wilayah masyarakat adat berada dalam kawasan hutan negara, yang berpotensi mengancam keberadaan mereka.
Arman menekankan jika penertiban dilakukan secara sembarangan dan tanpa penjelasan yang komprehensif, hal ini bisa berujung pada militerisasi kawasan hutan.
"Jika penegakan atau penertiban ini dilakukan secara serampangan dan tidak berhati-hati, serta tanpa penjelasan yang lebih komprehensif, justru ini akan menjadi semacam upaya militerisasi penertiban kawasan hutan. Masyarakat adat memiliki pengalaman buruk terhadap penertiban ini," katanya.
Ia juga mencatat bahwa upaya pemerintah dalam menetapkan tata batas kawasan hutan sering kali dilakukan tanpa partisipasi masyarakat adat, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan.
"Jika berbicara tentang penertiban, seharusnya ada sanksi administratif yang jelas, termasuk untuk pemindahan paksa yang tidak sesuai dengan ketentuan," kata Arman.