Senin 03 Feb 2025 13:00 WIB

AS Keluar Perjanjian Paris, Pemerintah Diminta Terus Jalankan Target Transisi Energi

Kesepakatan JETP tidak bersandar pada AS semata.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Teknisi memeriksa solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Teknisi memeriksa solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Lembaga think-tank Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Pemerintah Indonesia meningkatkan komitmen melakukan transisi energi untuk mencapai nol-emisi pada 2060 atau lebih awal. IESR menyoroti pernyataan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim S Djojohadikusumo yang mengatakan Just Energy Transition Partnership (JETP), yang disepakati pada November 2022, gagal karena tidak ada dana yang cair.

Pernyataan ini disampaikan untuk merespons keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Persetujuan Paris pasca terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menekankan agar Pemerintah Indonesia tidak gamang atas keputusan Trump keluar dari Persetujuan Paris, serta implikasi kebijakan “American First” di bidang energi terhadap JETP yang disepakati Indonesia dan International Partners Group (IPG).

Baca Juga

Fabby menjelaskan kesepakatan JETP tidak bersandar pada AS semata, karena IPG terdiri atas banyak negara dan lembaga pendanaan internasional, yang tetap berkomitmen menyokong pendanaan transisi energi di Indonesia melalui inisiatif ini. Menurutnya, pemerintah harus memperkuat komitmennya untuk melaksanakan JETP pada era Presiden Prabowo Subianto melalui sejumlah tindakan.

Pertama, melanjutkan Satgas Transisi Energi Nasional (TEN), yang sebelumnya dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, sesuai dengan struktur kabinet baru untuk koordinasi implementasi percepatan transisi energi dan pelaksanaan JETP, ETM (Energy Transition Mechanism) dan sebagainya. Kedua, mempercepat reformasi sejumlah kebijakan yang menjadi penghambat percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia sebagaimana yang telah dipetakan dalam CIPP.

Ketiga, melakukan penyelarasan target JETP yaitu target bauran energi terbarukan minimal 34 persen pada 2030 dan puncak emisi 290 juta ton CO2 pada 2030 dalam dokumen perencanaan energi seperti pada rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Keempat, segera menuntaskan persetujuan pensiun dini PLTU Cirebon I dengan skema ETM, yang prosesnya sudah berlangsung selama tiga tahun.

“Transisi energi adalah prasyarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan seperti yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan merupakan salah satu dari 13 Transformasi Super Prioritas yang harus dilakukan pemerintah," kata Fabby dalam pernyataannya, seperti dikutip pada Senin (3/2/2025).

Ia mencatat Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen, yang memerlukan ketersediaan energi yang besar, khususnya berasal dari energi terbarukan, dan investasi pada infrastruktur energi terbarukan. Menurut Fabby, mempertahankan energi fosil dan tetap mengoperasikan PLTU batu bara justru berisiko menjadi “bunuh diri ekonomi”.

Fabby mengatakan hal itu akan membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk menurunkan emisi dan menekan biaya penyediaan energi. Menurutnya, mempertahankan bahan bakar fosil hanya akan menghilangkan kesempatan untuk mengurangi subsidi karena mengabaikan kesempatan membangun pembangkit energi terbarukan dengan skala yang lebih besar.

Ia menegaskan keterlambatan membangun energi terbarukan skala besar akan melemahkan daya saing Indonesia dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara dan menghambat masuknya investasi asing di bidang manufaktur, digital dan industri pengolahan lanjutan, yang diperlukan Indonesia saat ini dan di masa depan.  

IESR mendukung keinginan Presiden Prabowo untuk mengakhiri PLTU pada 2040 dan 100 persen energi terbarukan sebelum 2050, yang disampaikan di pertemuan APEC dan KTT G20. Berdasarkan kajian sebelumnya, IESR menemukan menutup PLTU batu bara lebih cepat dapat mengurangi beban biaya subsidi listrik dan biaya kesehatan yang timbul akibat polusi dari PLTU.

Total penghematan dari subsidi listrik dan biaya kesehatan masing-masing diperkirakan sebesar 34,8 dolar AS miliar dan 61,3 miliar dolar AS. Penghematan ini 2 hingga 4 kali lebih besar dibandingkan dengan potensi kerugian akibat aset mangkrak, biaya penghentian pembangkit, transisi pekerjaan, serta kerugian penerimaan negara dari batu bara.

Untuk itu, IESR mendesak presiden agar menginstruksikan jajaran menterinya untuk mengimplementasikan arahan ini melalui perencanaan kelistrikan nasional yang konkret.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement