ESGNOW.ID, JAKARTA -- Kejadian tragis yang menimpa 77 lumba-lumba hidung botol di Indian River Lagoon, Florida, Amerika Serikat, pada 2013 menarik perhatian komunitas ilmiah dan masyarakat luas. Peristiwa kematian massal ini, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai "peristiwa kematian yang tidak biasa" (UME), bukan kali pertama terjadi di laguna tersebut, namun memiliki perbedaan signifikan.
Dilansir laman Study Finds baru-baru ini, para peneliti untuk pertama kalinya mengidentifikasi faktor ekologi sebagai penyebab utama, menyingkap hubungan kompleks antara aktivitas manusia dan kesehatan ekosistem laut. Penelitian yang dipublikasikan di Frontiers in Marine Science mengungkapkan bahwa pencemaran nutrisi akibat ulah manusia memicu ledakan pertumbuhan alga, mengubah ekosistem laguna secara drastis. Ledakan alga ini menghalangi sinar matahari mencapai dasar laguna, menghancurkan habitat lamun dan makroalga yang menjadi sumber makanan dan perlindungan bagi ikan. Akibatnya, populasi ikan menurun, memaksa lumba-lumba untuk beralih ke mangsa dengan nilai gizi lebih rendah, seperti ikan sea bream, yang memiliki kandungan energi lebih sedikit dibandingkan ikan ladyfish, mangsa utama mereka sebelumnya.
Perubahan pola makan ini berdampak fatal bagi lumba-lumba. Mereka harus mengonsumsi lebih banyak ikan sea bream untuk memenuhi kebutuhan energi harian mereka, sebuah tantangan besar bagi hewan yang membutuhkan asupan ikan dalam jumlah besar setiap hari. Kekurangan energi ini diperparah oleh suhu air yang dingin pada 2010 dan 2011, yang meningkatkan kebutuhan kalori lumba-lumba. Akibatnya, banyak lumba-lumba mengalami kekurangan berat badan, bahkan kelaparan, yang berujung pada kematian.
Para ilmuwan menggunakan berbagai metode untuk memahami dampak perubahan lingkungan terhadap lumba-lumba. Mereka menganalisis isotop stabil dalam sampel otot lumba-lumba untuk melacak perubahan pola makan, dan mempelajari gigi lumba-lumba untuk merekonstruksi perubahan lingkungan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan pola makan lumba-lumba terjadi setelah ledakan alga pada 2011, dan bertepatan dengan penurunan populasi ikan ladyfish dan peningkatan populasi ikan sea bream.
Kematian lumba-lumba ini bukan sekadar tragedi satwa liar, tetapi juga peringatan bagi manusia. Lumba-lumba hidung botol, sebagai predator puncak dan spesies penjaga di ekosistem pesisir, mencerminkan kesehatan keseluruhan rantai makanan. Kematian mereka mengindikasikan bahwa ekosistem laguna sedang mengalami tekanan besar akibat aktivitas manusia.
Penelitian ini menekankan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Meskipun ada upaya untuk mengurangi pencemaran nutrisi, diperlukan langkah-langkah tambahan untuk mencegah ledakan alga di masa depan.