ESGNOW.ID, JAKARTA — Energi surya diproyeksikan menjadi tulang punggung transisi energi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034. Dari total penambahan kapasitas 69,5 gigawatt (GW), sebesar 42,6 GW ditargetkan berasal dari energi terbarukan, dan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) menyumbang porsi terbesar dengan 17,1 GW.
RUPTL juga mencantumkan rencana kapasitas penyimpanan energi sebesar 10,3 GW untuk mengatasi masalah intermitensi yang melekat pada pembangkit berbasis surya dan bayu. Namun, target ambisius ini menghadapi tantangan besar, terutama kesiapan infrastruktur, regulasi, serta dampak sosial dan lingkungan.
Manajer Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, menilai fokus pada energi surya belum diimbangi dukungan sistemik yang memadai.
“Storage yang masuk dalam bauran tampaknya ditujukan untuk PLTS atau PLTB skala besar, yang berisiko menghadapi intermitensi,” ujar Beyrra kepada Republika, Ahad (1/6/2025).
Ia menyebut konsep smart grid yang kerap disebut krusial untuk integrasi energi terbarukan belum terlihat jelas dalam rencana RUPTL.
Selain itu, kebijakan PLTS atap masih minim insentif dan tidak menyediakan skema ekspor listrik ke jaringan, sehingga pengembangan justru lebih diarahkan pada skala besar, bukan partisipasi publik.
Selain PLTS, PLN menargetkan penambahan kapasitas PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) sebesar 11,7 GW. Namun, proyek-proyek PLTA selama ini menimbulkan dampak ekologis dan konflik sosial yang tak bisa diabaikan.
“PLTA umumnya membendung sungai utama, mengubah ekosistem perairan dan memicu konflik dengan masyarakat yang bergantung pada sungai,” kata Beyrra.
Ia menekankan perlunya safeguard yang ketat dan partisipasi penuh masyarakat untuk mencegah dampak buruk pembangunan.
Pemerintah juga merancang pengembangan PLTB sebesar 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan nuklir 0,5 GW.