Ahad 22 Jun 2025 06:00 WIB

Pemerintah Diminta Libatkan Publik dalam Penyusunan Aksi Iklim

Istilah ‘realistis’ berpotensi menjadi pembenaran untuk mengendurkan target.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Warga berjalan di dasar Waduk Bendo yang mengering di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (20/9/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo
Warga berjalan di dasar Waduk Bendo yang mengering di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (20/9/2024).

ESGNOW.ID,  JAKARTA — Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap aksi iklim dipertanyakan. Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyoroti proses penyusunan dokumen Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) yang dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik.

Menurut ARUKI, hingga pertengahan 2025, rancangan Second NDC belum tersedia untuk publik. Padahal, dokumen ini menjadi acuan utama dalam kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim lintas sektor.

Baca Juga

Ketertutupan ini dinilai mempersempit ruang partisipasi masyarakat dan melemahkan akuntabilitas, terutama bagi kelompok yang paling terdampak oleh krisis iklim.

“Pelibatan publik yang minim, terutama kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani kecil, dan nelayan tradisional, jelas bertentangan dengan prinsip inklusivitas,” ujar Torry Kuswardono dari Yayasan Pikul seperti dikutip dari pernyataan ARUKI, akhir pekan ini.

Torry menekankan pentingnya menjadikan suara kelompok rentan sebagai dasar kebijakan. Mereka memiliki pengetahuan lokal dan strategi adaptif yang terbukti memperkuat ketahanan komunitas. Namun, ARUKI menilai pemerintah justru berlindung di balik narasi ‘realistis’ untuk menurunkan ambisi iklim.

Bagi ARUKI, istilah ‘realistis’ berpotensi menjadi pembenaran untuk mengendurkan target penurunan emisi. Hal ini dipandang tidak sejalan dengan peran strategis Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terluas di dunia.

“Komitmen dalam dokumen Second NDC seharusnya tidak lebih lemah dari Enhanced NDC. Justru perlu diperkuat, terutama dalam upaya menurunkan deforestasi dan degradasi hutan,” tegas Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo G. Sembiring.

Ia menambahkan, target FOLU Net Sink 2030 dan transisi energi global semestinya tercermin secara tegas dalam dokumen baru ini. Namun di sisi lain, ARUKI menemukan adanya kontradiksi mencolok antara janji pengurangan emisi dan arah pembangunan nasional.

Proyek-proyek seperti food estate, ekspansi industri ekstraktif, serta pengembangan pariwisata skala besar justru dinilai mempercepat deforestasi dan peningkatan emisi.

“Bagaimana mungkin Indonesia serius menurunkan emisi jika proyek pembangunan justru merusak hutan dan melemahkan ketahanan kelompok rentan?” ujar Uli Arta Siagian dari WALHI Nasional.

Uli mencontohkan pembangunan food estate di Merauke yang membongkar hutan dan wilayah adat Papua demi sawah dan tebu sebagai bentuk nyata pelanggaran terhadap prinsip mitigasi dan keadilan iklim.

ARUKI mendesak pemerintah menyusun Second NDC secara transparan, inklusif, dan berlandaskan komitmen kuat terhadap keadilan iklim. Tanpa itu, Indonesia dinilai berisiko kehilangan kredibilitas di panggung diplomasi iklim internasional dan gagal melindungi rakyat dari dampak krisis yang kian terasa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement