ESGNOW.ID, JAKARTA – Rehabilitasi ekosistem mangrove nasional masih menghadapi banyak kendala, mulai dari terbatasnya anggaran, kesulitan akses di lokasi terpencil, hingga lemahnya strategi pascarehabilitasi. Di tengah tantangan itu, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyiapkan pendekatan baru dengan mendorong keterlibatan publik secara lebih luas.
Direktur Rehabilitasi Mangrove Ristianto Pribadi pada Kamis (24/7/2025) mengatakan, kolaborasi dengan masyarakat dan sektor swasta dapat menjadi kunci memperluas dampak rehabilitasi, meskipun anggaran pemerintah terbatas.
“Bagi kami, sebetulnya konteksnya adalah bagaimana tutupan hutan mangrove itu meningkat dan dikelola secara lestari. Kemudian mangrove yang ditanam itu menjadi keuntungan karbon, menjadi hasil hutan bukan kayu yang bermanfaat bagi masyarakat,” kata Ristianto.
Ia mencontohkan sejumlah investasi swasta yang mulai masuk ke proyek rehabilitasi, baik melalui program CSR, bantuan teknis, maupun pendanaan multilateral. Menurutnya, 34 Unit Pelaksana Teknis (UPT) di seluruh provinsi kini didorong memanfaatkan anggaran penanaman untuk membuka ruang partisipasi publik.
Kementerian juga mulai menggeser fokus kebijakan dari sekadar penanaman menjadi investasi jangka panjang yang melibatkan pemangku kepentingan lintas sektor. “Nilai ekonomi dari hasil-hasil tadi akan dikembalikan sepenuhnya kepada pemangku kawasannya dan mitra-mitra yang berinvestasi,” ujar Ristianto.
Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RU-RHL) mencatat, 79,56 persen ekosistem mangrove yang jadi target rehabilitasi berada di kawasan hutan negara, sementara 20,44 persen lainnya berada di area penggunaan lain (APL) yang pengelolaannya melibatkan pemerintah daerah. Untuk mempercepat proses rehabilitasi, Kementerian menargetkan integrasi program mangrove dalam rencana pembangunan daerah dan nasional, serta pembentukan unit manajemen mangrove yang permanen.
Kondisi di lapangan menunjukkan berbagai tantangan teknis, seperti lokasi tanam yang tidak kondusif, gelombang tinggi, banjir rob, gangguan hama tritip, hingga tumpukan sampah laut. Belum lagi, lemahnya koordinasi antar-lembaga dan belum optimalnya strategi pascarehabilitasi turut menghambat efektivitas pemulihan ekosistem pesisir.
Program rehabilitasi mangrove secara nasional sebenarnya sudah dimulai sejak 2020. Beberapa program besar yang telah berjalan antara lain Program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), Program Rehabilitasi Mangrove (PRM) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta inisiatif Mangrove for Coastal Resilience(M4CR) yang didukung lembaga internasional seperti World Bank dan UNDP.
Upaya tersebut telah memulihkan ribuan hektare kawasan mangrove di Sumatera, Kalimantan, hingga Papua. Kementerian juga membangun persemaian mangrove berskala besar, seperti Persemaian Pulau Cemara di Brebes dan Persemaian G20 di Bali.
Selain itu, partisipasi masyarakat melalui Kelompok Tani Hutan (KTH) juga terus diperluas. Beberapa kelompok yang aktif terlibat di antaranya KTH Mangrove Bersinar (Bangka), KTH Bahagia Giat Bersama (Sumatera Utara), KTH Mangrove Jaya, dan KTH Mega Buana (Riau).
Kementerian menegaskan rehabilitasi mangrove akan terus menjadi bagian dari strategi pembangunan rendah emisi dan upaya mencapai target FOLU Net Sink 2030. Ristianto menegaskan pentingnya strategi yang adaptif dan kolaboratif agar pemulihan ekosistem pesisir tidak hanya menyentuh aspek lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat pesisir.