ESGNOW.ID, JAKARTA -- Krisis iklim terus memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Kini, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) melaporkan bahwa harga minyak zaitun telah melonjak lebih dari 130 persen dalam setahun terakhir, dan sama sekali tidak ada tanda-tanda penurunan.
Karena cuaca yang tidak menentu dan kekeringan yang meluas akibat perubahan iklim, negara-negara Mediterania seperti Yunani, Italia, dan Spanyol mengalami kerugian besar pada hasil panen dan produksi zaitun. Spanyol, salah satu eksportir minyak zaitun terbesar di dunia, mengalami penurunan produksi lebih dari 50 persen pada musim ini dibandingkan tahun lalu.
"Kami menghadapi situasi yang kompleks sebagai konsekuensi dari perubahan iklim,” demikian kata juru bicara Dewan Zaitun Internasional (International Olive Council) seperti dilansir The Manual, Kamis (28/9/2024).
Dampak yang luar biasa pada tanaman dan kenaikan harga minyak zaitun ini pasti akan berdampak luar biasa pada harga makanan di kafe hingga restoran mewah di seluruh dunia. Apalagi, minyak zaitun merupakan bahan pokok masakan seperti halnya garam dan merica, sehingga kelangkaannya jauh lebih serius dibandingkan dengan, misalnya, sriracha (saus sambal).
Situasinya sangat mengerikan, bahkan ada peningkatan yang signifikan dalam kejahatan yang berhubungan dengan minyak zaitun. Marin Serrano El Lagar, sebuah pabrik minyak Spanyol, dirampok sekitar 50 ribu liter minyak zaitun extra virgin pada tanggal 30 Agustus. Kerugian yang dialami perusahaan mencapai hampir 500 ribu dolar AS.
Selain perubahan iklim dan aksi pencurian, melonjaknya harga minyak zaitun juga dipengaruhi oleh keputusan Turki yang menangguhkan ekspor minyak zaitun dalam jumlah besar. Penangguhan ini memperburuk volume minyak zaitun yang sudah terbatas di Spanyol.
"Kita berada di ambang risiko yang game-changing, dan masih jauh dari jelas bahwa hal ini tidak akan membuat sistem pangan global berada di ambang batas, tentu saja dalam 50 tahun ke depan, tetapi mungkin dalam lima hingga 10 tahun ke depan dengan laju seperti ini,” kata Corey Lesk, seorang peneliti iklim di Dartmouth College.