ESGNOW.ID, JAKARTA -- Bumi dilaporkan pernah dibombardir dengan radiasi kosmik dalam dosis yang sangat besar lebih dari 14.000 tahun yang lalu, demikian menurut studi terbaru yang menganalisis cincin pohon. Para peneliti menduga bahwa hal itu disebabkan oleh badai matahari yang sangat besar dan berkekuatan super, yang belum pernah kita lihat sebelumnya.
Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan pada 9 Oktober di jurnal Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical Physical and Engineering Sciences, para peneliti menganalisis cincin pohon yang diambil dari tunggul pohon yang sudah menjadi fosil atau sebagian fosil di Pegunungan Alpen, Prancis. Pohon-pohon purba, yang diawetkan oleh endapan dasar sungai, semuanya memiliki tingkat radiokarbon tinggi yang berasal dari sekitar 14.300 tahun yang lalu.
Radiokarbon atau karbon-14 adalah isotop karbon dengan neutron ekstra dan diproduksi ketika sinar kosmik menghantam atom nitrogen di atmosfer. Tingkat radiokarbon yang tinggi pada cincin pohon menunjukkan adanya lonjakan sinar kosmik pada masa itu.
Waktu terjadinya lonjakan pada cincin-cincin ini sesuai dengan temuan dari inti es yang baru-baru ini digali di Greenland, yang menunjukkan tingginya kadar unsur berilium dari periode yang sama. Berilium paling sering terbentuk dari sinar kosmik yang menghantam inti elemen lain.
Para peneliti menduga lonjakan radiasi berasal dari badai matahari yang sangat besar, kemungkinan besar dipicu oleh awan plasma bermagnet yang bergerak cepat dan radiasi yang dikenal sebagai lontaran massa korona (coronal mass ejection/CME) yang diluncurkan ke ruang angkasa oleh jilatan api matahari yang sangat besar. Seperti apa bentuk badai raksasa itu masih belum bisa kita pahami saat ini.
“Jika benar, maka badai tersebut akan menjadi badai terbesar yang pernah diidentifikasi yang berasal dari matahari. Badai matahari yang serupa saat ini akan menjadi bencana besar bagi masyarakat teknologi modern," kata salah satu penulis studi sekaligus ahli radiokarbon di University of Leeds Inggris, Tim Heaton, seperti dilansir Live Science, Jumat (13/10/2023).
Para peneliti menyebut badai matahari purba itu sebagai peristiwa Miyake, jenis badai matahari raksasa yang tidak pernah diamati secara langsung tetapi meninggalkan bukti dalam catatan fosil. Sejauh ini, setidaknya ada enam (tapi kemungkinan ada delapan) peristiwa Miyake lainnya yang terdeteksi dari cincin pohon atau bukti geologi di seluruh dunia, dengan yang terbaru terjadi sekitar 1.030 tahun lalu.
Badai matahari terbesar yang diamati secara langsung adalah Peristiwa Carrington, yang meletus dari bintik matahari yang sangat besar di permukaan matahari pada tahun 1859. Badai ini tidak mampu menghasilkan tingkat radiasi seperti yang terlihat pada cincin pohon, tapi badai ini menghasilkan suar yang sangat besar dan terang, yang dapat dilihat oleh para astronom di Bumi selama sekitar lima menit dan memiliki energi yang setara dengan 10 miliar bom nuklir berkekuatan 1 megaton.
Para peneliti menduga Peristiwa Miyake 80 kali lebih kuat dari Peristiwa Carrington. Tapi, superflare yang baru ditemukan bisa saja dua kali lebih kuat lagi. Jika badai matahari yang sama kuatnya menghantam Bumi hari ini, itu akan menjadi bencana.
"Badai super seperti itu dapat merusak transformator di jaringan listrik kita secara permanen, mengakibatkan pemadaman listrik yang sangat besar dan meluas selama berbulan-bulan. Hal ini juga dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada satelit yang kita semua andalkan untuk navigasi dan telekomunikasi, sehingga tidak dapat digunakan,” jelas Heaton.
Ia juga menduga, peristiwa Miyake mungkin memainkan peran penting dalam evolusi kita. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sinar kosmik yang disemburkan oleh superflare bisa jadi pemicu awal kehidupan di Bumi.
“Penemuan baru ini menyoroti bahwa kita masih harus banyak belajar tentang perilaku matahari dan bahaya yang ditimbulkannya bagi masyarakat di Bumi," tulis para peneliti.
Matahari saat ini sedang mendekati puncak dalam siklus matahari sekitar 11 tahunan, yang dikenal sebagai solar maximum. Ini terjadi ketika aktivitas matahari seperti jilatan api matahari dan lontaran massa korona (CME) menjadi lebih umum.
Tidak ada indikasi bahwa hal ini meningkatkan peluang bagi matahari untuk menghasilkan suar lain. Namun, para peneliti telah memperkirakan bahwa peristiwa Miyake dapat terjadi kira-kira setiap 1.000 tahun, jadi mungkin tidak akan lama lagi kita akan menyaksikan peristiwa Miyake yang lain.