ESGNOW.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih. Dari jumlah tersebut, pemilih muda menjadi salah satu kelompok terbanyak yaitu 66,8 juta pemilih dari generasi milenial dan 46,8 juta pemilih dari generasi Z.
Dominasi pemilih muda pada Pemilu 2024 telah banyak dilirik oleh Capres-Cawapres yang akan berkontestasi. Namun sayangnya, menurut Ketua BEM Universitas Indonesia, Melki Sedek Huang, mereka yang akan berkontestasi di Pemilu 2024 belum menawarkan solusi holistik terkait masalah yang akan dihadapi anak muda, termasuk dalam persoalan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
“Sering kali capres-cawapres yang berkontestasi di Pemilu 2024 itu menganggap anak muda hanya sebagai komoditas politik, dan mereka tidak memikirkan secara holistik apa yang anak muda betul-betul butuhkan,” kata Melki dalam sebuah diskusi di Ke-kini, Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Selama ini, menurut Melki, para capres juga kerap mengklaim dirinya paling dekat dan memahami apa yang dibutuhkan anak muda. Namun jika ditelaah lebih dalam, klaim-klaim tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Misalnya, mereka menawarkan penciptaan lapangan pekerjaan baru bagi anak muda jika terpilih menjadi presiden. Padahal, tegas Melki, yang dibutuhkan anak muda tidak hanya itu. Namun juga bagaimana anak muda bisa hidup di lingkungan yang layak untuk dihuni, bebas polusi, dan berkelanjutan.
“Ya gimana kita bisa bekerja dengan baik kalau kita berangkat kerja aja dikepung dengan polusi udara. Gimana kita bisa bekerja dengan aman kalau berbagai hak dan jaminan kita tidak bisa difasilitasi oleh negara,” kata Melki.
Atas problematika itu, Melki mengajak anak-anak muda lainnya untuk terus menyuarakan masalah lingkungan, iklim, dan pembangunan berkelanjutan. Mengingat jumlah pemilih muda sangat besar, dia berharap, capres-cawapres pada akhirnya bisa mendengar tuntutan anak muda dan menawarkan solusi konkrit untuk mengatasi masalah iklim.
“Jangan sampai isu iklim ini terus ditempatkan di belakang. Karena percuma kalau kita bicara banyak soal korupsi, pembukaan lapangan kerja, HAM, tapi kita tidak bisa bernapas dan hidup di lingkungan yang tidak layak huni,” tegas Melki.