Senin 13 Nov 2023 14:55 WIB

Jadi Negara Penghasil Polusi Terbesar, China Mulai Terapkan Energi Berkelanjutan

Emisi karbon China diprediksi akan turun sangat besar tahun depan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
China menjadi negara yang kini berada di jalur berkelanjutan.
Foto: ELG21/www.pixabay.com
China menjadi negara yang kini berada di jalur berkelanjutan.

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Lonjakan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) diyakini mampu mengurangi emisi karbon di China, yang selama ini dikenal sebagai salah satu negara penghasil polusi terbesar di dunia. Menurut sebuah laporan terbaru, China sudah berada pada jalur yang berkelanjutan.

Menurut laporan tersebut, target instalasi tenaga surya dan angin di Beijing untuk tahun ini telah tercapai pada bulan September, dan pangsa pasar kendaraan listrik telah jauh melampaui target 20 persen pemerintah untuk tahun 2025.

Baca Juga

“Rekor penambahan ini dipastikan akan mendorong pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan emisi karbon dioksida menurun pada tahun 2024," ujar Lauri Myllyvirta, penulis laporan sekaligus analis utama di Centre for Research on Energy and Clean Air.

Pertumbuhan yang paling mencolok terjadi pada tenaga surya, menurut Myllyvirta. Instalasi tenaga surya meningkat sebesar 210 gigawatt (GW) pada tahun 2023, yang merupakan dua kali lipat dari total kapasitas tenaga surya di Amerika Serikat dan empat kali lipat dari kapasitas yang ditambahkan oleh China pada tahun 2020.

Analisis ini, yang didasarkan pada angka resmi dan data komersial, menemukan bahwa China memasang 70 GW tenaga angin tahun ini, lebih dari seluruh kapasitas pembangkit listrik di Inggris. China juga diperkirakan akan menambah 7 gigawatt tenaga air dan 3 gigawatt kapasitas tenaga nuklir tahun ini.

Myllyvirta mengatakan bahwa ledakan pembangkit energi bersih dapat memicu penurunan emisi China mulai tahun depan, meskipun ada gelombang pembangkit listrik tenaga batu bara baru di negara tersebut.

“Ini karena, untuk pertama kalinya, laju ekspansi energi rendah karbon sekarang ini cukup untuk tidak hanya memenuhi. Tetapi juga melebihi rata-rata peningkatan tahunan permintaan listrik China secara keseluruhan," kata Myllyvirta seperti dilansir The Guardian, Senin (13/11/2023).

“Jika laju ini dipertahankan, atau dipercepat, berarti pembangkit listrik China dari bahan bakar fosil akan memasuki periode penurunan struktural - yang juga merupakan yang pertama kali terjadi. Selain itu, penurunan struktural ini dapat terjadi meskipun ada gelombang baru perizinan dan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di negara tersebut," tambah Myllyvirta.

Cina memiliki 136 GW kapasitas listrik tenaga batu bara yang sudah dalam tahap konstruksi pada akhir Juni, dengan 99 GW lainnya yang sudah memiliki izin perencanaan. Menurut penelitian tersebut, 25 GW lainnya telah diizinkan sejak saat itu, yang akan melanggar janji kebijakan yang dibuat oleh presiden negara tersebut, Xi Jinping, untuk secara ketat mengontrol proyek-proyek pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru.

“China telah memperkirakan bahwa kapasitas listrik tenaga batu baranya akan mencapai puncaknya pada 1.370 GW pada tahun 2030, yang akan memerlukan penghentian segera izin-izin listrik tenaga batu bara yang baru, atau percepatan penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara yang sudah ada dan yang direncanakan,” kata Myllyvirta.

Laporan ini mendukung perkiraan para ahli energi bahwa emisi dari pembangkit listrik global dapat mencapai puncaknya pada tahun ini sebelum mencapai puncaknya pada semua emisi energi mulai tahun depan.

Sebuah laporan dari lembaga pemikir iklim Ember bulan lalu menemukan bahwa pertumbuhan energi terbarukan sangat cepat, sehingga mendekati tingkat yang dibutuhkan dunia untuk meningkatkan kapasitasnya tiga kali lipat pada akhir dekade ini untuk memenuhi target iklim.

Dalam beberapa pekan terakhir, Badan Energi Internasional (International Energy Agency) menambahkan bahwa emisi dari semua sumber energi termasuk bahan bakar fosil yang digunakan untuk pemanasan dan bahan bakar, dapat mencapai puncaknya pada tahun 2025 sebelum mulai menurun dalam titik balik bersejarah bagi industri energi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement