ESGNOW.ID, JAKARTA -- Negara maju dinilai gagal memenuhi komitmen mereka untuk memberi sumbangan pendanaan iklim kepada negara berkembang sebesar 100 miliar dolar AS. Karenanya, koalisi CSO yang tergabung dalam aliansi Voices for Just Climate Action (Suara Untuk Aksi Iklim yang Berkeadilan) mendesak negara maju untuk segera memenuhi komitmennya tersebut.
Country Engagement Manager Yayasan Humanis (afiliasi Hivos), Arti Indallah, juga menyayangkan praktik pendanaan tersebut yang mayoritas berbentuk hutang. Dari data 2019-2020, diperkirakan hanya seperempat dari pendanaan iklim publik yang bentuknya dana hibah, sebagian besar bentuknya hutang bahkan non-konvensional.
Hal ini menjadi instrumen pembentuk hutang yang semakin memberatkan negara berkembang dan sebuah praktek ketidakadilan. Selain itu, pendanaan dalam bentuk hutang juga biasanya sulit memenuhi kebutuhan krusial untuk adaptasi yang dibutuhkan kelompok rentan untuk melindungi penghidupannya seperti ketahanan pangan dan air.
“Berdasarkan data analisis CPI, dari pendanaan iklim yang mengalir ke Indonesia, hanya 4 persen yang bentuknya dana hibah,” kata Arti dalam diskusi media di Cikini, Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Di lain sisi, jelas Arti, sudah banyak literatur yang melihat solusi iklim berbasis lokal dapat membawa perubahan yang berkelanjutan. Untuk menganalisis pendanaan untuk solusi yang dipimpin lokal cukup sulit dilakukan karena kurang transparansi terkait informasi ini di arsitektur pendanaan iklim yang ada. Namun beberapa percobaan untuk menghitung ini memperkirakan hanya 0,5 persen dari pendanaan di Asia yang mendukung ini.
Arti juga mendorong sinergitas pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk mendukung aksi-aksi iklim tingkat lokal melalui peningkatan alokasi anggaran baik melalui anggaran pemerintah, komunitas internasional atau melalui skema lainnya. Ia berharap bahwa dengan adanya alokasi pendanaan iklim di tingkat lokal, komunitas lokal di daerah-daerah dapat menjadi agen perubahan yang aktif dan efektif dalam menangani perubahan iklim.
Sumber melalui mekanisme transfer daerah mencakup Dana Perimbangan (DAU, DBH, DAK), Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, mekanisme transfer berbasis ekologi, dan Dana Desa dapat didorong untuk mendukung hal ini terutama pada daerah-daerah yang rentan.
Maria Mone, petani muda perempuan dari Flores Timur, menegaskan bahwa dukungan pendanaan iklim untuk komunitas lokal sangatlah berarti. Dalam situasi seperti bencana alam atau perubahan cuaca yang ekstrim, memiliki akses terhadap pangan lokal yang beragam dapat menjadi pertahanan dalam menjaga ketersediaan pangan di masyarakat.
Maria bersama para petani lain di komunitas WeTan HLR telah aktif mendorong dan mengkampanyekan pangan lokal. Pangan lokal mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi iklim dan lingkungan setempat. Keanekaragaman hayati yang telah beradaptasi dengan iklim lokal biasanya lebih tahan terhadap perubahan iklim.
“Dengan mempertahankan produksi pangan lokal, komunitas dapat mengurangi ketergantungan pada pangan impor dan mempertahankan akses terhadap sumber daya pangan dalam menghadapi perubahan iklim yang tidak pasti. Sehingga kami berharap, inisiatif seperti ini dapat didukung dengan pendanaan yang memadai,” ujar Maria Mone.