ESGNOW.ID, JAKARTA -- Akhirnya ada kabar baik mengenai respons global terhadap krisis iklim. Sebuah analisis terbaru dari Climate Analytics, lembaga ilmu pengetahuan dan kebijakan yang berbasis di Berlin, Jerman, mengungkap bahwa emisi gas rumah kaca berpeluang menurun hingga 70 persen pada tahun 2024.
Peluang itu bisa terwujud dengan syarat, teknologi bersih harus terus berlanjut dan tindakan untuk mengurangi emisi metana ditingkatkan. Jika syarat terpenuhi, maka kemungkinan besar emisi gas rumah kaca akan mulai menurun tahun depan, demikian menurut Climate Analytics.
Prediksi Climate Analytics didasarkan pada tren pertumbuhan yang menjanjikan pada sektor energi terbarukan seperti panel surya dan angin, serta kendaraan listrik (EV). Selain itu, negara-negara yang menandatangani Global Methane Pledge juga membuat kemajuan yang cukup signifikan untuk mencapai target mereka dalam mengurangi emisi sebesar 30 persen pada tahun 2030.
Para peneliti Climate Analytics juga mengatakan bahwa proyeksi yang lebih sederhana untuk penyebaran teknologi terbarukan yang dikembangkan oleh Badan Energi Internasional (IEA) dan badan lainnya cenderung terlalu konservatif, jika dibandingkan dengan data pertumbuhan angin dan matahari yang riil hingga saat ini.
“Peluncuran teknologi nol karbon yang cepat dalam beberapa tahun terakhir ini akan menggerogoti permintaan bahan bakar fosil, yang memprediksi bahwa kapasitas terpasang energi terbarukan akan mencapai sekitar 9 Terawatt pada tahun 2030, dengan angin dan matahari menyediakan 7,5 Terawatt,” ungkap Climate Analytics seperti dilansir Greenbiz, Rabu (29/11/2023).
Menggemakan temuan yang dipublikasikan oleh lembaga think tank energi, Ember, para analis mencatat bahwa dunia sudah hampir berada di jalur yang tepat untuk mencapai target yang diusulkan yaitu tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan pada tahun 2030 - target yang akan diperdebatkan oleh para pemerintah pada KTT Iklim COP28 di Dubai pekan depan.
“Tiga kali lipat kapasitas terbarukan pada tahun 2030, yang didorong oleh penggunaan tenaga angin dan tenaga surya, masih dalam jangkauan," tulis laporan tersebut.
Pertumbuhan teknologi nol karbon yang begitu cepat akan cukup untuk memenuhi proyeksi pertumbuhan permintaan energi dan mulai menggerogoti permintaan bahan bakar fosil, kata Climate Analytics. Dengan demikian, skenarionya menunjukkan bahwa total permintaan bahan bakar fosil akan mencapai puncaknya pada tahun 2023, dan kemudian memasuki periode penurunan yang cepat mulai tahun 2025.
"Selama bertahun-tahun, pertumbuhan permintaan energi telah melampaui penyebaran energi terbarukan, meskipun ada penambahan tenaga angin dan matahari. Kita sekarang mendekati titik kritis, di mana energi terbarukan menyalip pertumbuhan permintaan dan mulai menggeser batu bara, minyak dan gas. Hal ini akan menandai awal dari akhir bagi ekonomi fosil,” ujar penulis laporan dan pakar Climate Analytics, Neil Grant.
IEA memprediksi puncak permintaan gas fosil pada tahun 2029, tetapi skenario Climate Analytics menunjukkan bahwa permintaan akan mencapai puncaknya lima tahun lebih awal, yaitu pada tahun 2024. Sementara itu, IEA memperkirakan permintaan batu bara akan mencapai puncaknya pada tahun ini, dan permintaan minyak akan mencapai puncaknya pada tahun 2025, seiring dengan pertumbuhan kendaraan listrik yang terus berlanjut dan mengurangi permintaan bahan bakar fosil dari sektor transportasi. Skenario akselerasi yang terus berlanjut akan melihat puncak-puncak yang berbeda pada ketiga bahan bakar fosil pada tahun 2025.
Laporan ini menekankan bahwa temuan-temuannya, meskipun memberikan pandangan yang lebih optimis tentang masa depan dibandingkan dengan banyak analisis umum, tidak memberikan ruang untuk berpuas diri. Mencapai puncak emisi gas rumah kaca akan menjadi tonggak bersejarah, tetapi tidak cukup untuk membatasi pemanasan hingga 2 Celcius, apalagi untuk mencapai target 1,5 Celcius.
“Untuk mencapai pengurangan emisi yang diperlukan pada tahun 2030 dan mencapai target 1,5 derajat Celsius, pemerintah harus membuat kebijakan yang memungkinkan tidak hanya peningkatan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat dan peningkatan efisiensi energi hingga dua kali lipat, tetapi juga pengurangan penggunaan bahan bakar fosil hingga 40 persen pada tahun 2030,” tegas Climate Analytics.