ESGNOW.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian dari para ilmuwan iklim di Potsdam Institute of Climate Impact Research Jerman, memprediksi akan terjadi lebih banyak banjir parah yang disebabkan oleh pemanasan global. Mereka juga melihat bahwa beberapa model iklim generasi terbaru kerap meremehkan sejauh mana pemanasan global menyebabkan curah hujan yang ekstrem.
"Cuaca ekstrem tampaknya akan meningkat lebih cepat dengan pemanasan global daripada yang diperkirakan oleh model-model tersebut. Curah hujan ekstrem akan lebih deras dan lebih sering terjadi. Masyarakat harus bersiap untuk hal ini," ujar peneliti studi, Anders Levermann, seperti dilansir Eco Watch, Kamis (30/11/2023).
Para peneliti menganalisis frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrim harian di daratan pada 21 model iklim generasi baru, yang digunakan oleh sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan penilaian global.
Tim peneliti membandingkan perubahan historis dengan perubahan yang diprediksi oleh model iklim, dan menemukan bahwa hampir semua model tersebut sangat meremehkan tingkat peningkatan curah hujan seiring dengan kenaikan suhu di seluruh dunia.
"Studi kami menegaskan bahwa intensitas dan frekuensi curah hujan ekstrem meningkat secara eksponensial dengan setiap peningkatan pemanasan global," kata Maximilian Kotz, penulis utama makalah tersebut dan ekonom lingkungan, ahli fisika iklim dan peneliti postdoctoral di Potsdam Institute.
Ketika banyak negara tengah bersiap untuk Konferensi Iklim PBB ke-28 (COP28) di Dubai, yang dimulai Kamis (30/11/2023), desakan untuk beralih ke energi terbarukan juga kian tinggi. Pasalnya, prospek untuk membatasi pemanasan planet hingga 1,5 derajat Celcius dan menghindari dampak paling buruk dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia semakin kecil kemungkinannya.
Peningkatan curah hujan ini sejalan dengan persamaan Clausius Clapeyron dalam fisika, yang menyatakan bahwa udara yang lebih hangat mengandung lebih banyak uap air.
“Meskipun angka-angka ini kurang lebih sesuai dengan ekspektasi dari hubungan Clausius-Clapeyron secara rata-rata di seluruh model, masing-masing model menunjukkan perbedaan yang cukup besar dan signifikan. Simulasi Monte-Carlo menunjukkan bahwa perbedaan ini berkontribusi pada ketidakpastian dalam besarnya perubahan yang diproyeksikan setidaknya sama besarnya dengan perbedaan sensitivitas iklim," tulis para penulis studi tersebut.
Para penulis mengatakan bahwa penemuan ini menyoroti gagasan bahwa suhu bertanggung jawab atas perubahan curah hujan ekstrem di seluruh dunia, bukannya angin. Peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan didokumentasikan daerah tropis seperti di Asia Tenggara.
"Kabar baiknya adalah hal ini membuat kita lebih mudah untuk memprediksi masa depan curah hujan ekstrem. Kabar buruknya adalah: Hal ini akan menjadi lebih buruk, jika kita terus meningkatkan suhu global dengan mengeluarkan gas rumah kaca," kata Levermann.