ESGNOW.ID, JAKARTA -- Meningkatnya frekuensi dan tingkat keparahan kekeringan di seluruh dunia dinilai sebagai keadaan darurat yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala planet. Hal ini diungkap dalam sebuah laporan PBB yang diluncurkan hari ini pada konferensi iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab.
PBB juga menyatakan bahwa kekeringan yang terjadi secara bertahap menyebabkan kehancuran diam-diam, sering kali diabaikan oleh media dan pemerintah.
“Kekeringan adalah bahaya alam, namun bukan bencana alam, dan kita dapat melakukan segala hal yang memungkinkan untuk tidak mengubahnya menjadi bencana alam. Jika kita siap menghadapi kekeringan, kita tidak hanya menyelamatkan nyawa dan penggunaan lahan, tetapi juga masuk akal secara ekonomi,” kata penulis laporan, Daniel Tsegai, seperti dilansir New Scientist, Selasa (12/12/2023).
Tiga dari empat orang di dunia dapat terkena dampak kekeringan pada tahun 2050 karena udara yang lebih hangat menyedot lebih banyak uap air, menyebabkan musim kemarau yang lebih sering dan intens. Tahun ini, 14 persen dari wilayah Amerika Serikat yang berbatasan langsung dengan Brazil mengalami kekeringan parah hingga ekstrem, dan jantung hutan hujan Amazon mengalami curah hujan paling sedikit dalam 40 tahun terakhir, membuat air sungai turun ke titik terendah.
Selain itu, kekeringan juga menyebabkan kerugian miliaran dolar setiap tahunnya. Pada Agustus 2023, India mengalami kekeringan terburuk dalam satu abad terakhir, yang pada akhirnya menaikkan harga gula dan gandum global. Terusan Panama yang menghubungkan Samudra Atlantik dan Pasifik, harus mengurangi lalu lintas pelayaran hingga sepertiganya karena kekurangan air.
Dalam setengah abad terakhir, kekeringan juga telah menelan korban setidaknya 650 ribu jiwa. Diperkirakan 43 ribu orang tewas tahun lalu dalam rekor kekeringan di Somalia, yang kini mengalami banjir sekali dalam satu abad.
“Jadi menurut saya, berinvestasi dalam ketahanan terhadap kekeringan bisa jadi 10 kali lebih murah daripada membayar kerusakan dan bantuan kemanusiaan di kemudian hari,” kata Tsegai.
Akan tetapi, tantangan pertama dalam hal ini adalah memprediksi kekeringan. Sebuah inisiatif PBB bertujuan untuk memasang sistem peringatan dini cuaca ekstrem di seluruh dunia pada tahun 2027. Untuk wilayah Tanduk Afrika, yang meliputi Somalia dan Eritrea, para ilmuwan kini dapat memperkirakan kekeringan hingga delapan bulan sebelumnya dengan melihat temperatur Samudera Pasifik, kata Chris Funk dari University of California, Santa Barbara.
"Memahami bagaimana perubahan iklim membuat variasi iklim alami menjadi lebih intens membuka pintu untuk mengantisipasi dan memprediksi serta mengelola dampaknya," kata Funk.
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan dan melestarikan air, kata Tsegai. Memulihkan ekosistem yang terdegradasi dapat membantu menyimpan air, begitupun beralih ke tanaman yang lebih tahan kekeringan dan irigasi yang efisien dapat membuat pertanian lebih tangguh. Di Ethiopia, sebuah program untuk menampung air hujan, mengurangi penggembalaan ternak secara berlebihan, dan menanam pohon meningkatkan pertumbuhan tanaman sebesar 14 persen di daerah yang dilanda kekeringan.
Sementara itu, sebuah studi pada awal tahun ini menemukan bahwa pembangunan berkelanjutan, yang memprioritaskan kesehatan dan pendidikan, akan mengurangi paparan masyarakat terhadap kekeringan sebesar 70 persen pada abad ini dibandingkan dengan pembangunan berbahan bakar fosil, dan menggarisbawahi perlunya peralihan dari minyak, gas, dan batu bara.