ESGNOW.ID, JAKARTA -- Sektor pariwisata bertanggung jawab atas sekitar delapan persen emisi karbon global, menurut Sustainable Travel International. Emisi itu dihasilkan mulai dari penerbangan, perjalanan kapal, kendaraan darat, hingga oleh-oleh dan penginapan, yang semuanya berkontribusi terhadap jejak karbon pariwisata.
Untuk itulah, pariwisata berkelanjutan dan ramah lingkungan sangat mendesak diterapkan untuk menekan emisi gas rumah kaca yang memanaskan bumi. Dan praktik-praktik wisata berkelanjutan itu bisa dimulai dari lingkup terkecil, yaitu individu seperti yang telah dipraktikkan oleh Anisa Aulia.
Perempuan berusia 28 tahun itu mengaku telah berupaya untuk mempraktikkan konsep berkelanjutan di kehidupannya begitupun saat melakukan perjalanan. Saat bepergian ke luar kota maupun luar negeri, Anisa berupaya meminimalkan risiko lingkungan dengan selalu membawa tumbler dan tas belanja.
“Tumbler dan tas belanja itu selalu aku bawa pasti. Bahkan kalau keluar rumah atau main, termasuk saat aku traveling ke luar negeri,” kata Anisa saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/12/2023).
Sadar akan besarnya emisi karbon yang dihasilkan pesawat, Anisa juga berusaha membatasi perjalanan pesawatnya. Misalnya untuk perjalanan ke luar kota yang bisa ditempuh dengan kereta api, ia akan lebih memilih itu.
“Kalau naik kereta kan enak juga ya, bisa sambil nikmatin suasana setiap kota di Indonesia,” kata Anisa.
Menurut Anisa, perjalanan udaranya selama tahun 2023 bisa dihitung jari yaitu saat berwisata ke Jepang, Singapura, dan Hong Kong. Pada awal tahun 2023, Anisa mengunjungi Jepang selama hampir dua pekan. Selama melancong di Negeri Sakura, Anisa ditemani seorang kawan yang memang asli orang Jepang, sehingga bisa membuat perjalanannya lebih terencana.
“Dan enaknya kan kalau di Jepang itu memang transportasinya sudah sangat bagus. Jadi aku enggak perlu merasa bersalah juga, dan ke mana-mana aku naik commuter atau bus yang lebih ramah lingkungan,” kata Anisa.
Selama berlibur di Jepang, Anisa juga lebih banyak mengeksplorasi destinasi bernuansa alam, budaya, atau kuliner.
“Karena Jepang negaranya lebih maju dan polusinya minim banget, jadi jalan-jalan di sekitar area perkotaan atau menjajal food streetnya aja sudah sangat menyenangkan bagi aku,” kata Anisa.
Anisa mengungkap bahwa perencanaan liburan yang ramah lingkungan menjadi satu hal penting yang harus disiapkan. Menurut dia, perencanaan itu juga bisa menjadi guide agar selama di lokasi wisata, kita bisa tetap berada sesuai jalur.
Namun, Anisa juga masih memberi kelonggaran jika dihadapkan pada situasi mendesak. Misalnya ketika dia haus dan air minum di tumbler habis, sementara di sekitar tidak ada tempat pengisian ulang, maka ia pun dengan terpaksa harus membeli air mineral plastik.
“Jadi mungkin ya tergantung sistemnya dukung kita untuk menerapkan hidup berkelanjutan apa tidak. Kalau kayak di Indonesia, kan masih sangat terbatas depot pengisian air minum ulang yang gratis. Jadi kalau semisal kehausan, tapi air di tumbler habis, mau enggak mau pasti beli ya,” kata Anisa.
Sejauh ini, Anisa merasa enjoy bisa menerapkan praktik-praktik berkelanjutan di hidupnya. Selain karena bisa ikut memberi dampak positif bagi planet ini, Anisa juga mengaku merasa lebih nyaman saat menerapkan praktik berkelanjutan.
“Konsep berkelanjutan itu membuat hidup aku terasa lebih simple, juga tidak boros. Intinya kita harus mau mulai dan nyoba sendiri sih, meskipun aku juga belum sesempurna itu ya menerapkan praktik berkelanjutan. Tapi minimal aku udah mulai,” kata Anisa.