Hal ini menimbulkan poin penting lainnya. Dalam hal menafsirkan hasil studi atribusi peristiwa ekstrem, penting untuk mengetahui apa pertanyaannya. Sebagai contoh, sebuah studi tahun 2013 menanyakan apakah musim panas yang basah baru-baru ini di Eropa barat laut merupakan respon terhadap mencairnya es laut Arktik. Jawaban dari penelitian tersebut adalah "tidak". Namun, seperti yang dijelaskan dalam kata pengantar dari laporan BAMs tahun itu.
"Mengingat berbagai cara perubahan iklim dapat mempengaruhi curah hujan di wilayah ini, hasil 'tidak' untuk peran es laut Arktik tidak boleh ditafsirkan sebagai tidak adanya peran apa pun dalam perubahan iklim,” demikian kata penulis.
Dari 81 kejadian kekeringan, perubahan iklim juga ditemukan telah meningkatkan tingkat keparahan atau kemungkinan 55 kejadian (68 persen). Dari sisanya, kemungkinan atau tingkat keparahan berkurang untuk satu kejadian (1 persen), sementara tidak ada kaitan yang jelas dengan aktivitas manusia yang ditemukan pada 15 kejadian (19 persen) dan 10 kejadian (12 persen) tidak dapat disimpulkan.
Hasil yang beragam ini mencerminkan kompleksitas yang melekat pada kekeringan. Dan, sekali lagi, pertanyaan spesifik menjadi penting. Kesimpulan mengenai peran perubahan iklim dalam kekeringan tertentu dapat bergantung pada apakah sebuah studi melihat suhu, curah hujan atau kelembaban tanah, misalnya.
"Kekeringan terus menjadi jenis peristiwa yang hasilnya memerlukan konteks yang signifikan, dan jawaban yang mudah sering kali sulit dipahami karena banyaknya faktor pendorong meteorologis, hidrologis, dan sosial yang bergabung untuk menyebabkan kekeringan,” demikian laporan BAMS 2015.