Rabu 24 Jan 2024 13:45 WIB

Pakar Sebut 2024 Jadi Titik Balik Krisis Iklim

Tren iklim global timbulkan kekhawatiran di 2024.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Badan Observatorium Iklim Uni Eropa, Copernicus, menemukan bahwa pada tahun 2023, suhu bumi lebih panas 1,48 derajat Celcius dibandingkan dengan rata-rata suhu pada masa pra-industri.
Foto: www.freepik.com
Badan Observatorium Iklim Uni Eropa, Copernicus, menemukan bahwa pada tahun 2023, suhu bumi lebih panas 1,48 derajat Celcius dibandingkan dengan rata-rata suhu pada masa pra-industri.

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Memasuki tahun 2024, tren iklim global menimbulkan kekhawatiran yang mendalam. Tahun lalu, bumi telah mencatatkan rekor terpanas sepanjang sejarah dan tahun ini kemungkinan besar akan lebih panas lagi. Suhu rata-rata global tahunan, untuk pertama kalinya, dapat melebihi 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra industri -ambang batas yang sangat penting untuk menstabilkan iklim bumi.

Tanpa tindakan segera, dunia akan berada dalam risiko besar untuk melewati titik kritis yang tidak dapat diubah dalam sistem iklim Bumi. Meskipun menurut ahli dari Griffith University, masih ada alasan untuk berharap.

Baca Juga

Wesley Morgan, peneliti dari Griffith Asia Institute, menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca global dapat mencapai puncaknya tahun ini dan kemudian mulai menurun. Ini akan menjadi titik balik bersejarah, menandai berakhirnya era bahan bakar fosil karena batu bara, minyak, dan gas semakin tergeser oleh teknologi energi bersih.

“Namun kita harus melakukan aksi yang progresif. Untuk menghindari krisis iklim terburuk, emisi global harus dikurangi separuhnya pada tahun 2030. Hal ini sangat penting dan tidak bisa ditawar lagi. Ini bukan akhir dari permainan, ini adalah awal dari permainan,” kata Morgan seperti dilansir The Conversation, Rabu (24/1/2024).

Tahun lalu, Bumi menjadi yang terpanas sejak pencatatan dimulai. Terjadinya kondisi El Nino di Samudra Pasifik membantu mendorong suhu global ke level yang lebih tinggi. Badan Observatorium Iklim Uni Eropa, Copernicus, menemukan bahwa pada tahun 2023, suhu bumi lebih panas 1,48 derajat Celcius dibandingkan dengan rata-rata suhu pada masa pra-industri.

Suhu global yang lebih panas pada tahun 2023 menyebabkan berbagai peristiwa dan bencana ekstrem di seluruh dunia. Peristiwa tersebut termasuk gelombang panas yang mematikan di musim panas di belahan bumi utara, kebakaran hutan yang dahsyat di Kanada dan Hawaii, dan hujan yang memecahkan rekor di banyak tempat termasuk Korea, Afrika Selatan, dan Tiongkok.

Tahun lalu juga merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat di lautan dunia. Lebih dari 90 persen panas dari pemanasan global tersimpan di lautan dunia. Suhu lautan adalah indikator yang jelas dari planet kita yang memanas, yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dan percepatan laju pemanasan.

Lautan yang memanas berarti bahwa pada tahun 2023, luas es laut di wilayah kutub Bumi adalah yang terendah dalam catatan. Selama musim dingin di belahan bumi selatan, es laut di Antartika lebih dari satu juta kilometer persegi di bawah rekor terendah sebelumnya - sebuah area es yang luasnya lebih dari 15 kali lipat luas Tasmania.

Tahun ini mungkin akan lebih panas lagi. Ada kemungkinan tahun 2024 akan berakhir dengan suhu global rata-rata lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Melalui Perjanjian Paris, negara-negara telah sepakat untuk bekerja sama dalam membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, karena pemanasan di atas ambang batas ini akan menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi umat manusia.

Perjanjian ini mengacu pada tren jangka panjang dalam suhu, bukan satu tahun. Jadi, jika dunia melampaui 1,5 derajat Celcius di tahun 2024, bukan berarti dunia telah gagal memenuhi target Paris. Namun, berdasarkan tren jangka panjang, dunia berada di jalur yang tepat untuk melewati batas 1,5 derajat Celcius pada awal tahun 2030-an.

“Seiring dengan memanasnya planet ini, kita sekarang berada dalam risiko besar untuk melewati titik kritis dalam sistem iklim Bumi, termasuk hilangnya lapisan es di kutub dan kenaikan permukaan air laut. Titik kritis ini mewakili ambang batas yang, ketika dilewati, dapat memicu perubahan pada iklim dan kehidupan dunia. Ini adalah ancaman yang belum pernah dihadapi oleh umat manusia,” kata Morgan.

Namun demikian, pada tahun 2024, ada banyak alasan untuk berharap. Morgan mengatakan bahwa pada KTT iklim PBB ke-28 (COP28) di Desember 2023, pemerintah dari hampir 200 negara sepakat untuk mempercepat transisi dari bahan bakar fosil dalam dekade yang krusial ini. Pembakaran bahan bakar fosil adalah penyebab utama krisis iklim.

Dan faktanya, permintaan pasar untuk teknologi energi bersih (angin, matahari, baterai, dan mobil listrik) kini terus meningkat dalam skala global, menggantikan teknologi yang menimbulkan polusi seperti pembangkit listrik tenaga batu bara dan kendaraan bermesin pembakaran.

Selain itu, dunia menambahkan 510 miliar watt kapasitas energi terbarukan pada tahun 2023, 50 persen lebih banyak daripada tahun 2022 dan setara dengan seluruh kapasitas listrik Jerman, Prancis, dan Spanyol jika digabungkan. Lima tahun ke depan diperkirakan akan ada pertumbuhan energi terbarukan yang lebih cepat lagi.

Penjualan kendaraan listrik juga meningkat pesat - tumbuh 31 persen pada tahun 2023 dan mewakili sekitar 18 persen dari semua kendaraan baru yang terjual di seluruh dunia. Di Australia, penjualan kendaraan listrik meningkat dua kali lipat tahun lalu dan diperkirakan akan terus tumbuh pesat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement