ESGNOW.ID, JAKARTA -- Pada tahun 2050, para ilmuwan memperkirakan bahwa permintaan pangan global akan meningkat sebesar 110 persen. Sementara itu, saat ini sekitar 40 persen lahan pertanian dan padang rumput berada dalam posisi terancam karena meningkatnya suhu rata-rata Bumi, tingginya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan banyak faktor lainnya.
Sebuah tim peneliti dari Skoltech, Institut Geografi Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, dan organisasi penelitian terkemuka lainnya, menggunakan sejumlah besar data terbuka dan kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis bagaimana kesesuaian lahan pertanian dapat berubah dalam 25 tahun. Mereka menyimpulkan bahwa jumlah lahan pertanian akan meningkat di wilayah utara. Penelitian ini dipublikasikan di IEEE Access.
Metodologi penelitian mencakup tiga tahap yakni mengumpulkan dan memproses data, melatih model pembelajaran mesin, serta mengevaluasi hasil dengan memprediksi distribusi lahan pertanian berdasarkan berbagai model iklim dan skenario jalur sosio-ekonomi bersama. Penelitian ini difokuskan pada wilayah Eropa Timur dan Asia Utara.
Valery Shevchenko, peneliti utama studi sekaligus insinyur peneliti di Pusat AI Terapan Skoltech, mengatakan bahwa studi ini dilakukan berdasarkan ERA5. Ini merupakan data analisis iklim dari Pusat Prakiraan Cuaca Eropa, gabungan pengukuran nyata dari stasiun cuaca dan pemodelan yang membantu mendapatkan jaringan umum seluas 30 x 30 kilometer persegi di seluruh dunia.
“Data tersebut dapat diperoleh dari tahun 1950 hingga saat ini. Data lainnya, model CMIP, ditujukan untuk memprediksi perubahan iklim hingga tahun 2100. Ini adalah model iklim yang dibuat di berbagai lembaga di seluruh dunia, termasuk di Rusia," kata Shevchenko seperti dilansir Phys, Jumat (23/2/2024).
Karena model CMIP memiliki akurasi yang berbeda untuk parameter iklim yang berbeda (suhu udara, kecepatan angin, dan lainnya), para peneliti memperoleh tiga set data dan menganalisisnya untuk tiga skenario perubahan iklim yang berbeda. Pertama, masa depan energi hijau yang berkelanjutan dan rendah emisi. Kedua, lintasan business-as -usual dengan emisi sedang. Terakhir, skenario ketergantungan bahan bakar fosil yang tinggi dengan emisi gas rumah kaca yang meningkat secara signifikan.
Untuk mempelajari secara menyeluruh kondisi irigasi lahan pertanian, tim peneliti mengintegrasikan data analisis dukungan ketahanan pangan global dengan resolusi 1 km x 1 km. Peneliti menggunakan pemodelan AI untuk memprediksi apa yang akan terjadi pada tahun 2050 dengan menggunakan data yang dikumpulkan dari model CMIP.
“Kami tidak dapat mengatakan bahwa hal ini akan terjadi 100 persen, karena penting untuk mempertimbangkan banyak parameter di sini-misalnya, jenis tanah, erosi tanah. Kami hanya dapat memprediksi tren yang bergantung pada berbagai skenario perkembangan iklim dan menarik perhatian orang untuk mengembangkan strategi untuk masa depan saat ini," lanjut Valery Shevchenko.
Para penulis menyimpulkan bahwa dalam 25 tahun jumlah lahan subur akan meningkat, tetapi akan bergeser ke utara. Di sisi lain, beberapa wilayah pertanian yang saat ini dieksploitasi mungkin memerlukan peningkatan irigasi, sehingga menimbulkan potensi risiko.
Para penulis menekankan bahwa temuan mereka selaras dengan dan melengkapi rekomendasi dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), yang menyoroti pentingnya penilaian regional yang terperinci untuk beradaptasi dengan variabilitas iklim dan memastikan pasokan pangan.