Rabu 14 May 2025 17:59 WIB

Produksi Kopi Gayo Anjlok Akibat Perubahan Iklim

Perubahan iklim membuat kondisi tanam menjadi tidak stabil.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Petani menjemur biji kopi arabika Gayo di Desa Bale Atu, Kecamatan Bukit, Bener Meriah, Aceh, Ahad (19/6/2022).
Foto: ANTARA/Syifa Yulinnas
Petani menjemur biji kopi arabika Gayo di Desa Bale Atu, Kecamatan Bukit, Bener Meriah, Aceh, Ahad (19/6/2022).

ESGNOW.ID,  JAKARTA — Perubahan iklim mulai mengancam keberlanjutan produksi kopi Gayo, salah satu kopi spesialti unggulan Indonesia. Curah hujan yang tak menentu dan suhu yang kian meningkat berdampak langsung pada turunnya hasil panen dan menyebarnya hama penyakit tanaman.

Imran, petani kopi dari Desa Bale Redelong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, mengatakan produksi kopi miliknya merosot drastis dalam beberapa tahun terakhir.

“Sebelum 2016 produksi bisa sampai 70 sampai 80 ton per tahun, sekarang tinggal 30 sampai 40 ton,” kata Imran dalam diskusi Dari Ladang ke Cangkir: Peluang Kopi Spesialti di Tengah Perubahan Iklim, Rabu (14/5/2025).

Menurutnya, pemanasan global telah mempercepat penyebaran hama penggerek buah, yang menyebabkan penurunan kualitas biji kopi, kerusakan batang, hingga kematian tanaman.

“Pemanasan global itu pengaruhnya penyakit penggerek buah itu cepat. Sangat rentan ya, itu masalah yang kami hadapi sebagai petani di Gayo,” ujar Imran.

Kopi Gayo, yang ditanam di ketinggian 1.200 hingga 1.300 meter di atas permukaan laut, selama ini dikenal karena cita rasa dan aromanya yang khas. Namun, perubahan iklim membuat kondisi tanam menjadi tidak stabil. Imran menegaskan pentingnya pelatihan untuk petani dalam memahami varietas yang sesuai dan menerapkan pertanian adaptif terhadap iklim.

Data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa hingga 2050, sekitar 50 persen wilayah produksi kopi dunia terancam hilang. Khusus untuk Arabika, jenis utama kopi spesialti, diprediksi 80 persen produksinya akan terdampak akibat krisis iklim.

Indonesia, menurut World Resources Institute (WRI) Indonesia, memiliki keunggulan komparatif dengan banyak varietas kopi spesialti seperti Gayo, Ijen Raung, dan Arabika Wamena. Namun, ancaman iklim membuat perlunya adaptasi segera.

Merespons kondisi tersebut, WRI bersama HSBC meluncurkan proyek pendampingan petani kopi Gayo melalui pendekatan pertanian berkelanjutan. Direktur Program Pangan, Lahan, dan Air WRI Indonesia, Tomi Haryadi, menjelaskan bahwa program ini akan berlangsung pada 2025–2027 dan menargetkan intervensi di 1.200 hektare hutan desa.

“Dengan pendekatan good agricultural practices, kami ingin membantu petani meningkatkan kesejahteraan sambil tetap menjaga kelestarian hutan,” ujarnya.

Proyek ini tidak hanya fokus pada produktivitas, tetapi juga mitigasi iklim. Dengan praktik agroforestri, proyek ini ditargetkan mampu menyerap emisi gas rumah kaca hingga 50 ton per hektare.

Tomi menambahkan, pelibatan kelompok perempuan dan pemuda dalam rantai pasok kopi berkelanjutan menjadi prioritas, baik dalam pengolahan maupun akses pasar. Proyek ini juga diharapkan dapat meningkatkan hasil panen menjadi 1,2 hingga 2 juta ton per hektare.

“Dengan pendekatan ini, kami berharap pasar dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi komunitas petani, sekaligus mendukung konservasi hutan dan pengurangan emisi,” kata Tomi.

Inisiatif ini menegaskan bahwa krisis iklim tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga ketahanan ekonomi dan budaya masyarakat. Di dataran tinggi Gayo, kopi bukan sekadar komoditas, melainkan identitas dan warisan yang kini tengah terancam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement