ESGNOW.ID, JAKARTA -- Peritel pakaian seperti Zara, Forever 21, dan H&M membuat pakaian yang murah dan modis untuk memenuhi kebutuhan konsumen muda. Namun, fast fashion memiliki dampak lingkungan yang signifikan.
Menurut Program Lingkungan PBB (UNEP), industri ini merupakan konsumen air terbesar kedua dan bertanggung jawab atas sekitar 10 persen emisi karbon global - lebih banyak daripada gabungan seluruh penerbangan internasional dan pelayaran laut.
Laporan Quantis International 2018 juga menemukan bahwa tiga pendorong utama dari dampak polusi global industri fast fashion adalah pencelupan dan finishing (36 persen), persiapan benang (28 persen), dan produksi serat (15 persen). Laporan tersebut juga menetapkan bahwa produksi serat memiliki dampak terbesar terhadap pengambilan air tawar dan kualitas ekosistem akibat pembudidayaan kapas.
Sementara itu, tahap pencelupan dan finishing, persiapan benang, serta produksi serat memiliki dampak tertinggi terhadap penipisan sumber daya, karena proses-prosesnya yang intensif energi yang menggunakan bahan bakar fosil.
Ironisnya, emisi dari manufaktur tekstil saja diproyeksikan meroket hingga 60 persen pada tahun 2030, menurut Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC). Sayangnya, masalah fast fashion sering kali diabaikan oleh konsumen. Untuk lebih jelasnya, berikut dampak lingkungan dari fast fashion seperti dilansir Earth, Jumat (8/3/2024).
1. Air
Dampak lingkungan dari fast fashion terdiri atas penipisan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, emisi gas rumah kaca, dan penggunaan air dan energi dalam jumlah besar. Industri fesyen adalah industri konsumen air terbesar kedua, yang membutuhkan sekitar 700 galon untuk memproduksi satu kemeja katun dan 2.000 galon air untuk memproduksi celana jins. Business Insider juga memperingatkan bahwa pencelupan tekstil merupakan pencemar air terbesar kedua di dunia, karena air sisa dari proses pencelupan sering dibuang ke selokan, sungai atau sungai.
2. Mikroplastik
Selain itu, merek-merek tersebut menggunakan serat sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai. Sebuah laporan tahun 2017 dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan bahwa 35 persen dari semua mikroplastik -potongan-potongan kecil plastik yang tidak dapat terurai secara hayati- di lautan berasal dari pencucian tekstil sintetis seperti poliester.
Menurut film dokumenter yang dirilis pada tahun 2015 "The True Cost", dunia mengonsumsi sekitar 80 miliar pakaian baru setiap tahunnya, 400 persen lebih banyak daripada konsumsi dua puluh tahun yang lalu. Produksi kulit membutuhkan pakan, lahan, air, dan bahan bakar fosil dalam jumlah besar untuk memelihara ternak, sementara proses penyamakan kulit adalah salah satu proses yang paling beracun di seluruh rantai pasokan fesyen karena bahan kimia yang digunakan untuk menyamak kulit -termasuk garam mineral, formaldehid, turunan tar batubara, serta berbagai minyak dan pewarna- tidak dapat terurai secara hayati dan mencemari sumber air.
3. Energi
Produksi pembuatan serat plastik menjadi tekstil merupakan proses intensif energi yang membutuhkan minyak bumi dalam jumlah besar, serta melepaskan partikel yang mudah menguap dan asam seperti hidrogen klorida. Selain itu, kapas, yang banyak digunakan dalam produk fast fashion, juga tidak ramah lingkungan dalam proses pembuatannya. Pestisida yang dianggap perlu untuk pertumbuhan kapas menimbulkan risiko kesehatan bagi para petani.
Untuk mengatasi limbah yang disebabkan oleh fast fashion, kain yang lebih berkelanjutan yang dapat digunakan dalam pakaian termasuk sutra liar, katun organik, linen, rami, dan lyocell.
Dampak sosial
Fast fashion tidak hanya memiliki dampak lingkungan yang besar. Faktanya, industri ini juga menimbulkan masalah sosial, terutama di negara berkembang. Menurut organisasi nirlaba Remake, 80 persen pakaian dibuat oleh perempuan muda berusia antara 18 dan 24 tahun.
Laporan Departemen Tenaga Kerja AS tahun 2018 menemukan bukti adanya pekerja paksa dan pekerja anak di industri fesyen di Argentina, Bangladesh, Brasil, China, India, Indonesia, Filipina, Turki, Vietnam, dan lainnya. Produksi yang cepat berarti penjualan dan keuntungan mengalahkan kesejahteraan manusia.
Pada tahun 2013, sebuah bangunan pabrik delapan lantai yang menampung beberapa pabrik garmen runtuh di Dhaka, Bangladesh, menewaskan 1.134 pekerja dan melukai lebih dari 2.500 lainnya. Dalam laporannya "An Analysis of the Fast Fashion Industry" Annie Radner Linden menyatakan bahwa industri garmen selalu merupakan industri yang bermodal rendah dan padat karya.