ESGNOW.ID, JAKARTA -- Asia masih menjadi wilayah yang paling terkena dampak bencana pada 2023 karena cuaca dan iklim yang ekstrem, demikian menurut laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Badai dan banjir merupakan bencana yang paling parah melanda kawasan ini.
Dengan tren pemanasan yang meningkat hampir dua kali lipat sejak periode 1960-1990, Asia memanas lebih cepat daripada rata-rata global, dengan meningkatnya jumlah korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat banjir, badai, dan gelombang panas yang lebih parah.
Pada tahun 2023, suhu permukaan laut di Samudra Pasifik barat laut mencapai rekor tertinggi yang pernah tercatat. Bahkan Samudra Arktik pun mengalami gelombang panas laut. Di banyak wilayah di kawasan ini, termasuk Laut Arab, Laut Kara bagian selatan, dan Laut Laptev bagian tenggara, permukaan laut memanas tiga kali lebih cepat dibandingkan secara global. Laut Barents juga diidentifikasi sebagai titik hotspot perubahan iklim.
Didorong oleh ekspansi termal dan mencairnya gletser dan lapisan es, permukaan air laut terus meningkat secara global. Namun di Asia, tingkat kenaikannya lebih tinggi daripada rata-rata global selama periode 1993-2023.
Tahun lalu, benua ini mengalami 79 bencana yang terkait dengan bahaya air, dengan lebih dari 80 persen terkait dengan banjir dan badai, yang mengakibatkan lebih dari 2.000 korban jiwa dan berdampak langsung pada sembilan juta orang, menurut Emergency Events Database.
Menurut laporan WMO, banyak wilayah di kawasan ini mengalami panas ekstrem pada tahun 2023. Suhu rata-rata tahunan di Asia berada di peringkat kedua tertinggi dalam catatan dengan 0,91 derajat Celcius di atas rata-rata 1991-2020. Suhu yang sangat tinggi teramati dari Siberia barat hingga Asia tengah, dan dari Cina timur hingga Jepang. Jepang dan Kazakhstan mengalami rekor tahun terpanas.
“Sementara itu, tingkat curah hujan berada di bawah normal di sebagian besar Dataran Rendah Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakhstan, Hindu Kush (Afghanistan, Pakistan) dan Himalaya, serta di sekitar Sungai Gangga dan bagian hilir Sungai Brahmana,” demikian kata laporan tersebut seperti dilansir UN, Jumat (3/5/2024).
Pegunungan Arakan di Myanmar dan daerah hilir Sungai Mekong juga mengalami curah hujan yang lebih rendah dari biasanya. Sementara China Barat Daya mengalami kekeringan, dengan tingkat curah hujan di bawah normal hampir setiap bulan pada tahun 2023.
Meskipun curah hujan secara keseluruhan lebih rendah, beberapa peristiwa ekstrem terjadi, seperti hujan lebat di Myanmar pada bulan Mei; banjir dan badai di India, Pakistan, dan Nepal pada bulan Juni dan Juli, serta rekor curah hujan per jam di Hong Kong pada bulan September.
Sebagai rumah bagi volume es terbesar di luar wilayah kutub, wilayah Pegunungan Tinggi Asia dengan Dataran Tinggi Tibet sebagai pusatnya, memiliki sekitar 100 ribu kilometer persegi gletser. Selama beberapa dekade terakhir, sebagian besar gletser tersebut telah mencair, dan dengan laju yang semakin cepat.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa dari tahun 1970 hingga 2021, terdapat 3.612 bencana yang disebabkan oleh cuaca, iklim, dan air yang ekstrem, dengan 984.263 kematian dan kerugian ekonomi sebesar 1,4 triliun dolar AS. Wilayah ini menyumbang 47 persen dari semua kematian yang dilaporkan akibat bencana alam di seluruh dunia, dengan siklon tropis sebagai penyebab utama kematian yang dilaporkan.
Untuk mengurangi dampak-dampak ini, WMO dan para mitranya mengadvokasi sistem peringatan dini dan pengurangan risiko bencana yang kuat untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah krisis ekonomi di masa depan yang diperparah oleh perubahan iklim.
“Peringatan dini dan kesiapsiagaan yang lebih baik telah menyelamatkan ribuan nyawa,” kata Armida Salsiah Alisjahbana, Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (ESCAP), yang bermitra dalam pembuatan laporan tersebut.