Kamis 08 Aug 2024 20:07 WIB

Masyarakat Adat Kerap Diabaikan dalam Upaya Konservasi

Sekitar 36 persen tutupan hutan di dunia berada di wilayah adat.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Masyarakat adat Knasaimos di Sorong Selatan.
Foto: Greenpeace.org
Masyarakat adat Knasaimos di Sorong Selatan.

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai penetapan kawasan konservasi di Indonesia belum sepenuhnya memperhatikan masyarakat adat. Padahal, dunia sudah mengakui masarakat adat yang melindungi ekosistem-ekosistem yang diangap penting.

Deputi Sekjen AMAN Urusan Ekonomi dan Dukungan Komunitas Annas Radin Syarif berharap para pemangku kepentingan dapat lebih memperhatikan masyarakat adat saat akan menetapkan kawasan konservasi. "Tidak diperhatikan bahwa di dalam kawasan konservasi ada manusianya. Itu yang menjadi permasalahan utama di masyarakat adat," kata Anas di Forum Bumi dengan tema “Apa yang Terjadi Bila Keanekaragaman Hayati Kita Punah?" Kamis (8/8/2024).

Anas mengatakan banyak wilayah adat yang bernilai konservasi tinggi tapi masyarakat adat sering kali tidak dianggap sebagai bagian dari penjaga keanekaragaman hayati. Anas mengatakan berdasarkan data peta Working Group ICCAs (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territory) Indonesia (WGII) yang mendokumentasikan kawasan konservasi di wilayah masyarakat, sekitar 80 persen area dengan keanekaragaman hayati tinggi di wilayah adat.

Anas menambahkan, berdasarkan data dari Right Resource Institute, sekitar 36 persen tutupan hutan di dunia berada di wilayah adat. Oleh karena itu, masyarakat adat menjadi bagian dari konservasi.

Anas mengatakan potensi Area Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) mencapai 4,2 juta hektare. Ia mengatakan AMAN meregistrasi wilayah adat seluruh Indonesia yang hingga Juli 2024 hampir 30 juta hektare.

"Dari 28 juta hektare ini kami menganalisis ada 72 persen dari wilayah adat yang sudah dipetakan itu merupakan ekosistem penting," katanya.

Ia menjelaskan ekosistem penting artinya memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, terdapat koridor satwa, dan area-area hayati penting. Anas mengatakan AMAN mencatat terdapat 111 spesies mamalia di wilayah-wilayah masyarakat adat. "Artinya 14 persen dari total mamalia di Indonesia itu ditemukan di wilayah adat," kata Anas.

Anas menjelaskan bayangan masyarakat adat tentang konservasi adalah penggusuran. Ketika wilayah mereka ditetapkan sebagai area konservasi, masyarakat adat menganggap mereka akan digusur atau akan ada pembatasan-pembatasan.

Padahal, kata Anas, wilayah adat hampir pasti kawasan konservasi. Sebab, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat melindungi ekosistem. 

Anas mengatakan terdapat empat faktor masyarakat adat menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dari kelompok lain. Pertama, masyarakat adat memiliki motivasi yang lebih tinggi dari masyarakat lain karena wilayah adat bukan hanya mereka kelola tapi ada kewajiban yang harus mereka penuhi.

"Seperti tempat-tempat sakral karena ada titipan leluhur, sistem-sistem yang tidak boleh diganggu sama sekali, mereka tidak bicara konservasi tapi turun-temurun mereka memiliki keyakinan di dalam sistem kepercayaan mereka, wilayah-wilayah yang tidak boleh dirusak," kata Anas.

Kedua, secara historis wilayah adat diatur berdasarkan fungsi-fungsi ruang. Anas mengatakan sebelum ada Taman Nasional Halimun masyarakat sudah memiliki konsep fungsi ruang yang dibagi tiga. Titipan, tutupan dan garap.

"Titipan tidak boleh diolah sama sekali, tutupan boleh tapi jangan sampai dirusak, dalam konservasi kita mengenal istilah green belt, garapan baru boleh digunakan," katanya.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement