ESGNOW.ID, PRETORIA -- Rencana Afrika Selatan (Afsel) memperluas jaringan listriknya untuk beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara ke energi terbarukan menghadapi tantangan berat. Afsel kesulitan mencari investor yang bersedia menggelontorkan dana sebesar 21 miliar dolar AS lebih ke perusahaan negara yang hampir bankrut.
Sekitar 80 persen listrik Afsel dihasilkan dari batu bara. Seusai pemilihan umum pada Mei lalu dan penundaan birokrasi serta pesan kontradiktif selama bertahun-tahun, akhirnya ada perubahan posisi mengenai energi terbarukan.
Namun perusahaan energi terbarukan swasta seperti Mainstream Renewable (dimiliki oleh Aker Horizons), EDF Renewables, dan Acciona SA yang siap mengubah sektor energi menghadapi tantangan. Bagaimana menyalurkan energi terbarukan dari daerah pedesaan yang kaya sinar matahari dan angin ke pusat-pusat kota yang haus energi.
Beberapa pejabat mengatakan beberapa bulan terakhir Pemerintah Afsel mempertimbangkan opsi untuk mendanai proyek pembangunan kabel dan tiang listrik sepanjang 14 ribu kilometer. Tapi mereka belum menemukan solusinya. "Upaya kami untuk melakukan dekarbonisasi sangat bergantung pada kemampuan kami untuk memperluas jaringan," kata Menteri Energi Afsel yang baru Kgosientso Ramokgopa di Pretoria akhir bulan lalu.
Namun hal itu membutuhkan dana sekitar 390 miliar rand atau 21,30 juta miliar AS. Ia mengatakan Afsel tidak memiliki dana untuk investasi sebesar itu.
Sementara negara-negara pendonor memberikan dana proyek-proyek yang berkaitan dengan iklim dengan total nilai sebesar 11,6 miliar dolar AS dalam bentuk pinjaman. Mereka enggan menyerahkan uang tunai ke perusahaan energi pemerintah Afsel, Eskom tanpa adanya sovereign guarantees atau jaminan pemerintah untuk menanggung utang atau kewajiban entitas lain jika entitas tersebut gagal membayar.
Dua orang sumber dari negara pendonor dan satu sumber dari pemerintah Afsel mengatakan pemerintah Afsel tidak bisa memberikan sovereign guarantees sebab utang perusahaan itu sudah sangat tinggi. Eskom berutang 400 miliar rand meski sudah menerima keringanan utang dari pemerintah beberapa miliar. Kota-kota madya yang bankrut juga berutang 78 miliar rand pada perusahaan penyedia listrik itu, yang Ramokgopa sebut sebagai "ancaman eksistensial".
Perwakilan mitra Pemerintah Jerman dan Prancis dalam proyek iklim yang didanai pendonor tidak menanggapi permintaan komentar. Sementara mitra pemerintah Inggris menolak memberikan komentar resmi.
Pembakaran batu bara membawa Afsel sebagai salah satu dari 15 penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, di atas Italia, Prancis dan Inggris. Program transisi energi di negara itu dianggap sebagai ujicoba untuk transisi energi negara berkembang lainnya seperti Vietnam dan Indonesia.
Namun pemadaman listrik akibat pembangkit listrik yang sudah tua mengguncang negara paling maju di Afrika itu. Langkah Eskom meningkatkan kapasitas pembakaran sampai penuh pada awal tahun ini diperkirakan akan meningkatkan emisi.
Kepala manajemen proyek kantor Presiden Cyril Ramaphosa, Rudi Dicks, mengatakan proses penawaran untuk mendatangkan produsen independen guna menghasilkan listrik dan menjualnya ke Eskom tahun lalu gagal karena kapasitas jaringan listrik tidak mencukupi.
Masalah utamanya adalah jaringan listrik terletak di sabuk batu bara di timur laut negara itu sementara daerah kaya matahari berada di Northern Cape dan daerah kaya angin berada di pesisir Eastern Cape. "Anda benar-benar harus mengubah konfigurasi seluruh jaringan, (tapi) mereka harus membangun dengan kecepatan kurang 10 persen dari yang dibutuhkan," kata Komisi Iklim Kantor Presiden, Crispian Oliver.
Rencana Eskom melibatkan pembangunan jaringan transmisi listrik sepanjang 1.400 kilometer setiap tahun setidaknya selama 10 tahun. Pada tahun lalu mereka berhasil membangun 74 kilometer.
"Tidak mungkin Kementerian Keuangan dapat memberikan jaminan (yang cukup), alternatifnya adalah menarik sektor swasta untuk mengambil porsi resiko yang besar (melalui keuangan campuran utang dan ekuitas)," kata Oliver.
Juru bicara Kementerian Keuangan Afsel belum merespons permintaan komentar. Tapi dua sumber dari negara pendonor mengatakan salah satu opsi untuk menarik dana adalah lewat apa yang disebut escrow accounts. Di mana pihak ketiga yang netral memegang dana dan kemudian menyalurkannya ketika kedua belah pihak yang melakukan perjanjian memenuhi kewajiban mereka.
Opsi lainnya adalah offtake agreement di mana perusahaan swasta akan mendanai pembangunan dengan imbalan pendapatan di masa depan. Hal ini dapat membuka dana dari Amerika Serikat (AS) yang saat ini tidak mendanai proyek transmisi karena tidak bekerja dengan lembaga publik.
"Apabila kerangka kerja yang melibatkan entitas-entitas swasta sudah terbentuk, kami akan terbuka untuk menjajaki kemitraan," kata juru bicara kedutaan besar AS untuk Afsel Emilia Adams.
CEO Eskom Dan Marokane mengatakan untuk menarik perusahaan-perusahaan swasta masuk ke dalam rencana perluasan jaringan listrik, regulator masih perlu merombak tarif listrik. "Karena para investor ingin mengetahui secara pasti berapa ekspektasi keuntungan yang dapat mereka peroleh," katanya. Ia berharap hal itu akan terjadi pada akhir tahun ini.
Sementara itu, Dicks mengatakan pada prinsipnya Departemen Keuangan setuju untuk mendanai beberapa pembangunan jaringan listrik berdasarkan kasus per kasus. Ia menambahkan upaya-upaya melibatkan perusahaan-perusahaan swasta juga sedang dilakukan. "Tapi itu masih 18 bulan lagi, dan kami harus membangunnya sekarang juga," kata Dicks.
Dicks mengatakan para pejabat sepakat untuk mengadopsi metode pengadaan teknik dan pembiayaan konstruksi (EPC) dan pendanaan transmisi tenaga listrik independen (IPT). Metode IPT ini membuka kemungkinan untuk melibatkan Cina yang tahun lalu menandatangani sejumlah kesepakatan energi dengan Afsel. Juru bicara The State Grid Corporation of China belum dapat dimintai komentar.