ESGNOW.ID, JAKARTA -- Dalam laporan "Fostering Effective Energy Transition" yang dirilis World Economic Forum pada Juni 2024, Indonesia disebut menjadi salah satu negara yang membuat kemajuan penting dalam perjalanan menuju transisi energi. WEF mencatat Australia, Cina, Indonesia, Brasil dan Kanada merupakan negara-negara yang meraih kemajuan penting.
WEF mengatakan Undang-undang Perubahan Iklim 2022 memperkuat komitmen politik Australia pada transisi energi berkelanjutan. Undang-undang itu juga meningkatkan dimensi ketahanan energi dengan mengurangi impor bahan bakar. Sementara Cina menjadi pemain utama dalam manufaktur teknologi energi bersih dan berhasil meningkatkan kapasitas kendaraan energi terbarukan dalam negeri serta kemajuan signifikan dalam penerapan pembangkit listrik tenaga surya.
"Indonesia meningkatkan akses energi, terutama di daerah pedesaan, mencapai akses 98 persen pada tahun 2023, peningkatan dibandingkan 93 persen pada tahun 2022," kata WEF dalam laporan tersebut.
Sistem Perdagangan Emisi Kanada pada tahun 2021 memungkinkan beberapa teknologi baru dikomersialisasi seperti hidrogen bersih dan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) atau Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Lebanon, Ethiopia, Tanzania, Zimbabwe dan Afrika Selatan merupakan lima negara dengan potensi kemajuan tertinggi. WEF mengatakan walaupun negara-negara ini menunjukkan kemajuan signifikan tapi masih banyak ruang untuk perbaikan. Namun, walaupun negara-negara tersebut berhasil mencapai kemajuan dalam perjalanan menuju energi bersih, tapi Indeks Transisi Energi (ITE) mereka masih berada di peringkat bawah. WEF mengatakan hal ini disebabkan karena mereka masih kesulitan menyeimbangkan transisi energi yang adil, kuat dan berkelanjutan.
WEF mengatakan selain harus meningkatkan ITE, negara-negara itu juga perlu mempercepat proses transisi mereka. Caranya dengan mengurangi subsidi bahan bakar fosil sehingga energi terbarukan menjadi alternatif yang lebih disukai, membangun produksi energi terbarukan di dekat atau pada titik konsumsi bukan bergantung pada pembangkit listrik skala besar yang terpusat, dan memperluas lapangan kerja ramah lingkungan.
WEF mencontohkan langkah Lebanon mengurangi subsidi bahan bakar fosil memicu lonjakan distribusi energi surya. Sementara itu, Ethiopia memulai Program Elektrifikasi Nasional pada tahun 2017, yang memetakan arah menuju akses energi universal pada tahun 2025, dengan target khusus untuk menyediakan solusi tenaga listrik di luar jaringan untuk 35 persen populasinya.
"Tanzania muncul sebagai yang terdepan di Afrika Sub-Sahara, dengan perluasan tenaga listrik yang cepat, yang mencapai peningkatan 37,7 persen dalam hal aksesibilitas di daerah pedesaan dan perkotaan dari tahun 2011 hingga 2020," kata WEF.
Terjadi peningkatan penggunaan energi terbarukan di Zimbabwe terutama pembangkit listrik tenaga air yang mengarah pada peningkatan akses energi dan pertumbuhan lapangan kerja yang substansial di sektor energi bersih. WEF mengatakan meskipun ada kemajuan dalam meningkatkan intensitas energi dan karbon, sektor energi Afrika Selatan masih memiliki ruang untuk perbaikan.
Di sisi lain, kata WEF, dalam tiga tahun terakhir beberapa negara mengalami kemunduran dalam perjalanan menuju transisi energi, terutama Inggris, Italia, Turki, Angola, dan Kuwait. WEF mengatakan Inggris merupakan pemimpin awal dalam transisi energi dan terus menjadi yang terbaik.
Namun, krisis energi menghantam rumah tangga di Inggris dengan sangat keras karena negara ini sangat bergantung pada gas alam, yang menyumbang 39 persen dari bauran energinya, mengalami penurunan momentum karena keterjangkauan energi yang menurun. Inggris meningkatkan impor gas alam cair (LNG) dari Amerika Serikat. Namun, kurangnya keragaman impor energi juga berdampak pada dimensi keamanan.
Demikian pula Italia yang sangat bergantung pada gas dan Turki mengalami penurunan dalam dimensi energi berkeadilan karena lonjakan harga listrik dan gas, disertai dengan penurunan kinerja kesiapan transisi, terutama dalam hal regulasi dan investasi. Momentum Angola terhenti karena berkurangnya investasi energi terbarukan.
Selain itu, Kuwait tetap menjadi salah satu negara dengan ekonomi paling intensif karbon secara global, ditandai dengan ketergantungan yang besar pada bahan bakar fosil dan intensitas energi yang tinggi.