ESGNOW.ID, JAKARTA -- Dalam laporan Fostering Effective Energy Transition yang dirilis World Economic Forum (WEF) bulan Juni , peringkat Indeks Transisi Energi (ITU) Indonesia berada di posisi ke-54 dengan skor 56,7, kalah dari Vietnam di posisi ke-32 dan Malaysia posisi 40. Menurut pengamat, Indonesia harus menerapkan kebijakan lebih serius untuk memacu transisi energi.
"Yang harus dilakukan jelas. Kita harus beralih dari bahan bakar fosil ke energi yang bersih terbarukan dengan segera. Kalau mau terhindar dari krisis iklim di tahun 2050, rekomendasi The International Energy Agency (IEA) sudah jelas, dari tahun lalu seharusnya tidak boleh lagi ada penambahan penggunaan bahan bakar fosil," kata Juru Kampanye Oil Change International dan co-founder Arise! Indonesia Hikmat Soeriatanuwijaya, Selasa (13/8/2024).
Hikmat mengatakan, di atas kertas komitmen Indonesia dalam melakukan transisi energi sudah baik. Menurut Hikmat, Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan kemampuan sendiri sebesar 29 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 41 persen pada tahun 2030 cukup progresif. "Sayangnya dalam kenyataannya, belum seindah itu," kata Hikmat.
Ia juga mengapresiasi target EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. "Tapi lagi-lagi kenyataannya belum seindah itu. Sekarang sudah 2024, EBT masih hanya 13 persen dalam bauran energi. Batubara masih paling besar yakni 40 persen disusul minyak bumi dan gas," katanya.
Hikmat mengatakan di sisa waktu tinggal satu tahun ini pemerintah belum terlihat sungguh-sungguh dalam melakukan transisi energi. Ia mengatakan para pihak yang selama ini meraup untung dari industri fosil masih belum mau kehilangan keuntungannya dan berupaya keras memperpanjang umur bisnisnya.
"Ekspansi bahan bakar fosil masih ada di sana sini. Di sektor batu bara, ekspansi besar terjadi di sektor PLTU kawasan industri," katanya.
Menurutnya, komitmen pemerintah Indonesia dalam transisi energi hijau masih berkisar pada 'solusi palsu', seperti teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) atau Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. CCS merupakan teknologi untuk menangkap emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan oleh berbagai proses industri, khususnya yang terkait dengan bahan bakar fosil dan industri berat.
Setelah ditangkap, CO2 dipindahkan untuk kemudian dilakukan upaya untuk menyimpannya, terutama di bawah tanah. Dalam banyak kasus, CO2 yang disuntikkan ke bawah tanah bertujuan untuk mengekstraksi lebih banyak bahan bakar fosil, yang justru menghasilkan emisi CO2 dan polusi lebih lanjut.
Menurut Hikmat CCS tidak mengurangi emisi, namun hanya memperpanjang umur energi kotor. Secara teori, fasilitas global CCS mempunyai kapasitas untuk menangkap kurang dari 0,1 persen emisi karbon global, namun kenyataannya, jarang sekali ada yang mampu menangkap emisi sebesar itu.
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencantumkan CCS sebagai salah satu opsi mitigasi emisi yang paling mahal dan paling tidak efektif yang ada saat ini. Baru-baru ini IEA menyatakan, CCS “membutuhkan biaya yang mahal dan tidak ada kepastian. Kita harus melakukan segala upaya untuk menghentikannya.”