ESGNOW.ID, BRUSSELS -- Kurang dari tiga bulan Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan, dunia masih dilanda masalah yang sama. Negara-negara belum sepakat mengenai target pendanaan baru untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi perubahan iklim.
Dalam dokumen negosiasi yang dipublikasikan Badan Iklim PBB (IPCC) pada Jumat (30/8/2024) terlihat masih adanya perpecahan di antara negara-negara. Negosiator negara-negara akan mencoba mengatasi masalah ini di Baku bulan depan sebelum pertemuan bulan November.
Dokumen itu menyarankan tujuh opsi agar ada kesepakatan di COP29. Banyaknya opsi yang disarankan mencerminkan negara-negara memiliki posisi yang berbeda-beda.
Kesepakatan di Baku diharapkan dapat menggantikan komitmen negara-negara kaya menyediakan 100 miliar dolar AS setiap tahun untuk membiayai masalah perubahan iklim di negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang dan rentan ingin target pendanaan yang lebih besar. Sementara negara-negara pendonor seperti Kanada dan 27 negara Uni Eropa mengatakan keterbatasan anggaran nasional membuat lonjakan pendanaan tidak realistis.
"Kami sudah berjalan jauh tapi jelas masih ada posisi yang berbeda yang perlu kami jembatani," kata Presiden COP29 Mukhtar Babayev.
Babayev yang juga merupakan Menteri Ekologi dan Sumber Daya Alam mengatakan tuan rumah COP29 akan menggelar negosiasi intensif mengenai target pendanaan iklim menjelang pertemuan bulan November. Salah satu opsi yang disebutkan dalam dokumen negosiasi adalah menyediakan dana sebesar 441 miliar dolar AS per tahun ke negara-negara berkembang, digabungkan dengan dana yang diambil dari sumber-sumber lain, termasuk dari pendanaan swasta dari tahun 2024 sampai 2029 hingga totalnya mencapai 1,1 triliun dolar AS.
Opsi ini mencerminkan posisi-posisi negara Arab. Opsi lain yang mencerminkan sikap Uni Eropa adalah menetapkan target pendanaan iklim global lebih dari 1 triliun dolar AS setiap tahun. Ini termasuk dari investasi domestik dan pendanaan swasta. Negara-negara dengan emisi gas rumah kaca dan kemampuan ekonomi yang kuat juga harus berkontribusi pada pendanaan tersebut.
Uni Eropa sudah mendesak Cina, penghasil emisi terbesar di dunia dan ekonomi terbesar kedua di dunia, untuk berkontribusi pada pendanaan iklim yang baru. Berdasarkan sistem PBB yang dikembangkan tahun 1990-an, Cina diklasifikasi sebagai negara berkembang. Sistem itu masih digunakan hingga saat ini.
Beijing menolak membayar pendanaan iklim yang sebagian besar dananya dari negara-negara kaya untuk negara-negara miskin. Negosiator memprediksi siapa yang harus berkontribusi pada target pendanaan baru akan menjadi rintang terbesar dalam mencapai kesepakatan.
Opsi lain dalam dokumen tersebut, yang mencerminkan posisi Kanada, menyarankan agar para kontributor target tersebut ditentukan berdasarkan emisi dan pendapatan per kapita. Langkah ini tampaknya mengincar Uni Emirat Arab, Qatar, dan negara Arab kaya lainnya.