Jumat 08 Aug 2025 17:55 WIB

AZWI Desak Indonesia Batasi Pengaruh Industri di Perundingan Plastik

Pemerintah diminta mendorong transparansi dan target pengurangan produksi plastik.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Organisasi lingkungan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengkritisi dominasi pelobi dari industri bahan bakar fosil dan petrokimia dalam putaran kedua sesi kelima perundingan perjanjian global tentang polusi plastik. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Organisasi lingkungan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengkritisi dominasi pelobi dari industri bahan bakar fosil dan petrokimia dalam putaran kedua sesi kelima perundingan perjanjian global tentang polusi plastik. (Ilustrasi)

ESGNOW.ID,  JENEWA -- Organisasi lingkungan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengkritisi dominasi pelobi dari industri bahan bakar fosil dan petrokimia dalam putaran kedua sesi kelima perundingan perjanjian global tentang polusi plastik (INC-5.2) di Jenewa. Berdasarkan analisis terbaru Center for International Environmental Law (CIEL), sedikitnya tercatat 234 pelobi industri hadir di ruang negosiasi.

Dalam pernyataannya, Jumat (8/8/2025), AZWI mencatat angka ini menjadikan mereka kelompok nonpemerintah terbesar di dalam forum, melampaui banyak delegasi negara bahkan beberapa blok negosiasi regional. Data ini diperoleh dari daftar partisipan yang dirilis United Nations Environment Programme (UNEP) dan diolah oleh tim CIEL.

Baca Juga

AZWI yang hadir di INC-5.2 sebagai pengamat dari masyarakat sipil menilai kehadiran masif pelobi industri ini menimbulkan kekhawatiran mendalam. Industri bahan bakar fosil dan petrokimia adalah aktor utama dalam rantai produksi plastik, mulai dari ekstraksi minyak dan gas hingga pembuatan resin plastik.

Dengan posisi strategis tersebut, upaya melobi dapat diarahkan untuk mempertahankan status quo: mendorong solusi teknis yang dangkal, melemahkan target pengurangan produksi, atau mengaburkan kewajiban hukum yang seharusnya mengikat. Bagi masyarakat sipil internasional, temuan ini menjadi alarm keras.

AZWI menilai proses perundingan yang seharusnya memprioritaskan sains, kesehatan publik, dan keberlanjutan lingkungan dapat tergelincir jika kepentingan industri menguasai meja diskusi. Mengingat polusi plastik merupakan krisis multidimensi yang mengancam laut, tanah, udara, dan kesehatan manusia, setiap kompromi yang menguntungkan produsen plastik dapat menghilangkan momentum perubahan sistemik.

“Kami mengecam dominasi pelobi industri dalam proses negosiasi INC-5.2 yang menggeser fokus dari upaya perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan. Kekuatan lobi ini bukan hanya melemahkan komitmen global dan merugikan rakyat, tetapi juga membuka jalan bagi keuntungan korporasi,” kata Toxics Program Manager Nexus3 Foundation, Nindhita Proboretno, seperti dikutip dari pernyataan AZWI.

Nindhita mengatakan, kebijakan plastik kerap tunduk kepada tekanan industri besar, tidak terkecuali di Indonesia, sehingga upaya pembatasan produksi plastik dan penghapusan bahan kimia berbahaya tersendat.

“Sementara masyarakat terus menanggung beban pencemaran dan hak atas lingkungan hidup yang sehat diabaikan,” tambahnya.

Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia berada di garis depan dampak polusi plastik, baik pada ekosistem laut maupun kesehatan manusia. Berdasarkan data registrasi UNEP, delegasi Indonesia tercatat berjumlah 42 orang. Jumlah ini menjadi modal penting untuk memperkuat posisi negosiasi dan mendorong hasil perundingan yang ambisius.

Jika perjanjian global nantinya disusun dengan kompromi yang menguntungkan industri, tidak memuat target pengurangan produksi plastik yang ambisius, mekanisme pendanaan yang adil, dan aturan transparansi yang ketat, negara seperti Indonesia akan menghadapi tantangan berlipat ganda: beban polusi terus bertambah, tetapi dukungan internasional untuk mengatasinya menjadi minim.

AZWI mendesak pemerintah Indonesia mengambil posisi tegas dalam perundingan INC-5.2 dengan mendorong transparansi proses, membatasi pengaruh industri yang memiliki konflik kepentingan, dan memastikan perjanjian global yang dihasilkan memuat target pengurangan produksi plastik yang ambisius, mekanisme pendanaan yang adil, serta perlindungan kesehatan publik.

“Sebanyak 234 pelobi dari perusahaan bahan bakar fosil yang hadir dalam perundingan perjanjian plastik global mencemari harapan kita untuk hidup bebas dari polusi plastik. Sudah saatnya memberikan ruang yang luas dan adil bagi masyarakat dan kelompok ilmuwan dalam proses perundingan perjanjian plastik global,” kata Juru Kampanye Zero Waste Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement