ESGNOW.ID, JAKARTA – Indonesia mendorong penyelesaian krisis polusi plastik di forum internasional. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa Indonesia tengah mempersiapkan sejumlah kebijakan strategis untuk dibahas dalam International Conference on Plastic Pollution (INC 5.2) yang akan digelar Agustus 2025.
Konferensi tersebut bertujuan merumuskan kesepakatan global dalam menangani polusi plastik yang kian mengancam lingkungan dan kesehatan manusia. “Dua negara Eropa, Denmark dan Norwegia, telah mengajak kami berdiskusi intensif. Mereka adalah pemimpin dalam isu polusi global dan memiliki bukti nyata keberhasilan kebijakan di negaranya,” kata Hanif dalam Konferensi Pers Peringatan Hari Lingkungan Hidup Tahun 2025, Kamis (22/5/2025).
Menurut Hanif, keterlibatan Indonesia dalam forum global ini bukan hanya sebatas partisipasi, tetapi membawa agenda penting untuk memastikan keadilan dalam penanganan polusi plastik. Ia menyoroti perlunya prinsip common but differentiated responsibility—tanggung jawab bersama yang dibedakan berdasarkan kemampuan dan kontribusi terhadap masalah global.
“Apa kompensasi-kompensasi dan tanggung jawab bersama yang harus kita lakukan antara negara maju yang tulang punggung perekonomiannya adalah minyak dan gas. Minyak dan gas ini salah satu produknya adalah bahan baku plastik,” ujarnya.
Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini, “Ending Plastic Pollution”, memperkuat posisi Indonesia dalam menyerukan transformasi global menuju sistem produksi dan konsumsi plastik yang lebih bertanggung jawab. Hanif menyebut, negara-negara penghasil bahan baku plastik harus berperan lebih besar dalam mendukung negara berkembang yang terdampak limbah plastik impor.
Kementerian ESDM mencatat, Indonesia masih mengimpor 40–60 persen virgin plastic karena terbatasnya produksi minyak dalam negeri. “Ini menjadi masalah serius karena plastik impor berkontribusi pada timbulan sampah harian kita,” jelas Hanif.
Meski sampah plastik hanya menyumbang 15 persen dari total 56,6 juta ton timbulan sampah nasional per tahun, sifatnya yang tidak terurai menyebabkan akumulasi pencemaran jangka panjang. “Plastik butuh ribuan tahun untuk terurai, sementara kita masih banyak melakukan open dumping,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahaya mikroplastik yang kini mencemari air, tanah, dan rantai makanan. “Penelitian menunjukkan hampir semua masyarakat Indonesia telah terpapar mikroplastik,” tegas Hanif.
Sebagai langkah nasional, pemerintah telah mengeluarkan surat pemaksaan (forced compliance) pada April 2025 yang mewajibkan seluruh daerah menghentikan praktik open dumping dalam enam bulan.
“Kami akan melakukan pengawasan bulanan. Jika tidak dipatuhi, ada sanksi administratif hingga ancaman pidana 1 tahun penjara sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009,” katanya.
Indonesia menargetkan pengurangan sampah plastik hingga 70 persen pada 2025 dan bebas polusi plastik pada 2040. Dalam pencapaian itu, Hanif mendorong kolaborasi industri, inovasi kemasan ramah lingkungan, serta kontribusi internasional.
“Kami ingin kompensasi dan dukungan teknologi pengelolaan sampah yang adil,” ujarnya. Ia menegaskan, keberhasilan menyudahi polusi plastik tak bisa dicapai tanpa kerja sama global.