ESGNOW.ID, BANDA ACEH -- UN Women mendukung Pemerintah Indonesia untuk menghadirkan pendekatan terpadu untuk menghubungkan isu pembangunan dan kemanusiaan dengan perdamaian dari bawah ke atas, mulai dari praktik di komunitas hingga kebijakan, dengan menempatkan partisipasi bermakna perempuan di pusatnya.
"Melalui hal tersebut, perempuan dan anak perempuan mampu bertahan dari dampak buruk konflik dan bencana bahaya alam serta mampu berkontribusi pada resiliensi dan perdamaian berkelanjutan,” kata Country Representative Officer-in-Charge UN Women Indonesia Dwi Yuliawati Faiz dalam pernyataannya, Selasa (8/10/2024).
Dalam memperingati Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Banda Aceh yang diinisiasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), UN Women dan UN OCHA menyelenggarakan dialog kebijakan, “Membangun Nexus Humanitarian Development Peace (HDP): Peran Sektoral dalam Penanggulangan Bencana saat Situasi Konflik Sosial.”
Acara ini membahas keterkaitan antara bencana, konflik sosial, dan ekstremisme kekerasan di Indonesia, serta peran integral Klaster Nasional (KLASNAS) dalam mengelola dan merespons bencana, konflik sosial, dan radikalisasi.
Perwakilan dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), BNPB, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta UN Women dan UN OCHA meninjau peran masing-masing dalam upaya manajemen bencana dalam konflik sosial.
Mereka mengakui pentingnya pendekatan komprehensif termasuk melalui kebijakan untuk merespons dan mengelola isu-isu tersebut secara efektif, dan memastikan partisipasi bermakna dan kepemimpinan perempuan dalam proses pengambilan keputusan untuk pengurangan risiko bencana yang efektif.
UN Women mengatakan tsunami Aceh pada tahun 2004 salah satu dari banyak contoh yang menunjukkan keterkaitan antar risiko dari bencana alam dan konflik sosial yang mengakibatkan ketidaksetaraan sosial dan konflik. Hal ini memengaruhi kelompok yang paling rentan secara tidak proporsional, terutama perempuan yang sering menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber daya dan proses pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, strategi pemerintah untuk kesiapsiagaan yang responsif gender dalam penanggulangan bencana di konteks multidimensi, harus ada.
Humanitarian Analyst UNFPA Indonesia Elisabeth Adelina Sidabutar mengatakan ketersediaan layanan dan informasi kesehatan reproduksi serta pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan berbasis gender (KBG), bukan opsi tambahan. Melainkan, pemenuhan hak asasi manusia yang berdampak langsung terhadap kelangsungan dan kesejahteraan hidup (UNFPA).
Ia menambahkan peningkatan yang signifikan masih sangat dibutuhkan untuk memastikan akses setara terhadap layanan esensial tersebut. Kesiapsiagaan pemerintah yang responsif gender dalam penanggulangan bencana di konteks yang multidimensional harus diterapkan.
"UNFPA terus memperkuat peran koordinasi Sub-Klaster Pencegahan dan Penanganan KBG dan Pemberdayaan Perempuan (Sub-Klaster PPKBGPP) di Indonesia, di bawah kepemimpinan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak," kata Elisabeth.
Klaster Penanggulangan Bencana (Klaster PB) merupakan mekanisme koordinasi multipihak yang dipimpin Pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi koordinasi antara siklus penanggulangan bencana: pencegahan, respons, dan rehabilitasi.
“Indonesia berada di garis depan dalam membangun koordinasi multipihak untuk memperkuat kesiapsiagaan dan respons darurat guna mendukung korban bencana dari berbagai ancaman,” kata Kepala Kantor Penghubung OCHA di Indonesia/ASEAN Thandie Mwape.
Ia menambahkan klaster PB yang dipimpin pemerintahan dengan anggota dari aktor nonpemerintah merupakan cerminan dari kemitraan yang kuat dan ‘gotong royong’, semangat kemanusiaan Indonesia yang sejati.
UN Women dan UN OCHA mendukung Kemenko PMK dan BNPB untuk memperkuat kapasitas, kerangka hukum dan peran KLASNAS melalui proyek Perempuan Berdaya untuk Perdamaian Berkelanjutan yang didanai Badan Kerja Sama Internasional Korea.