Kamis 17 Oct 2024 15:34 WIB

Krisis Air Global Ancam Produksi Pangan Dunia

Negara-negara harus bekerja sama dalam mengelola sumber air tawar.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Petani membersihkan gulma di sekitar tanaman padi yang mengering akibat kemarau di persawahan Sejinjang, Jambi, Selasa (20/8/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Petani membersihkan gulma di sekitar tanaman padi yang mengering akibat kemarau di persawahan Sejinjang, Jambi, Selasa (20/8/2024).

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Laporan terbaru mengungkapkan apabila tidak ada tindakan untuk melestarikan cadangan air dan kehancuran ekosistem, dalam 25 tahun ke depan lebih dari setengah produksi pangan dunia diperkirakan mengalami gagal panen. Temuan ini menunjukkan cepatnya krisis air melanda dunia.

Dalam laporan Global Commission on the Economics of Water (GCEW) disebutkan, setengah populasi dunia sudah mengalami kelangkaan air. Angkanya diprediksi akan terus bertambah saat perubahan iklim kian memburuk.

Dikutip dari the Guardian, Kamis (17/10/2024), laporan itu mengungkapkan pada akhir dekade ini permintaan air bersih lebih tinggi 40 persen dari pasokannya. Sebab, kata GCEW, sistem air dunia dalam tekanan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

GCEW menemukan pakar dan pemerintah terlalu mengecilkan jumlah air yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup, meski hanya 50 sampai 10 liter air per hari yang dibutuhkan setiap orang untuk hidup sehat dan bersih. Kenyataannya butuh 4.000 liter per hari bagi setiap orang untuk mendapatkan nutrisi yang cukup dan hidup bermartabat. Di sebagian wilayah di dunia, volume tersebut tidak bisa didapat secara lokal, sehingga masyarakat mengandalkan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Sebagian negara memiliki lebih banyak "air hijau" yaitu kelembapan tanah yang diperlukan untuk produksi makanan dibandingkan "air biru" yakni air dari sungai dan danau. Laporan GCEW menemukan air bergerak melalui apa yang disebut “sungai atmosfer”, sistem membawa kelembapan dari satu wilayah ke wilayah lain.

Hampir setengah curah hujan di dunia berasal dari ekosistem yang memiliki vegetasi yang sehat. Ekosistem mengembalikan air ke atmosfer dan menghasilkan awan yang kemudian bergerak mengikuti hembusan angin.

Cina dan Rusia merupakan negara-negara yang paling banyak mendapatkan manfaat dari sistem "sungai atmosfer". Sementara India dan Brasil eksportir terbesar karena dataran mereka mendukung pergerakan air hijau ke daerah lain. Sekitar 40 sampai 60 persen sumber air hujan dihasilkan dari penggunaan lahan di sekitarnya.

"Perekomian Cina tergantung pada keberlanjutaan pengelolaan hutan di Ukraina, Kazakhstan dan wilayah Baltik," kata direktur Postdam Institute for Climate Impact Research dan salah satu anggota dewan GCEW Johan Rockstrom.

Ia mencontohkan Brasil mengirimkan air bersih ke Argentina. "Keterhubungan ini menunjukkan kita harus menempatkan air bersih di perekonomian global sebagai komoditas bersama," katanya.

Presiden Singapura dan anggota dewan GCEW Tharman Shanmugaratnam mengatakan negara-negara harus bekerja sama dalam mengelola sumber air tawar sebelum terlambat. Ia mengatakan pengelolaan sumber air tawar harus direncanakan dengan seksama.

"Bagaimana kita akan menggunakannya lebih efisien, dan bagaimana kita memungkinkan semua komunitas mengakses sumber air bersih termasuk komunitas rentan, dengan kata lain, bagaimana kita menjaga kesetaraan (antara yang kaya dan miskin)," kata Shanmugaratnam.

GCEW yang memanfaatkan karya peneliti dan ekonom seluruh dunia didirikan di Belanda pada tahun 2022. Tujuannya untuk membentuk pandangan komprehensif tentang keadaan sistem hidrologi global dan bagaimana mengelolanya.

Laporan setebal 194 halaman ini merupakan penelitian global terbesar yang meneliti semua aspek krisis air dan memberi rekomendasi pada pembuat kebijakan. Rockstrom mengatakan temuannya sangat mengejutkan.

"Air merupakan korban nomor satu (perubahan iklim), perubahan lingkungan yang kini kita lihat semakin buruk di tingkat global, menempatkan seluruh stabilitas sistem bumi dalam bahaya," katanya.

Ia mengatakan kekeringan dan banjir merupakan perwujudan pertama dan utama perubahan iklim. Rockstrom menjelaskan gelombang panas dan kebakaran awalnya dipicu rendahnya kelembapan tanah. "Dalam kasus kebakaran (pemanasan global) awalnya mengerikan lanskap sehingga terbakar," katanya.

Setiap suhu bumi naik 1 derajat, maka kelembapan atmosfer bertambah 7 persen. Dampaknya adalah meningkatnya kekuatan siklus hidrologi yang jauh lebih besar dari keadaan normal.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement