ESGNOW.ID, JAKARTA – Penerbitan sukuk berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) di negata-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) mengalami peningkatan. Akan tetapi, negara-negara teluk belum sepenuhnya memanfaatkan momentum kenaikan global penerbitan sukuk ESG.
Menurut Fitch Ratings, hal ini disebabkan kurangnya penerbit dan investor sukuk ESG domestik, meskipun pasar global sukuk menunjukkan peningkatan signifikan.
Penerbitan sukuk global meningkat setelah bank sentral AS menurunkan suku bunga acuan menjadi 5 persen pada September lalu. Fitch memperkirakan suku bunga akan turun menjadi 4,5 persen pada akhir tahun dan 3,5 persen pada akhir 2025. Hal ini diperkirakan mendorong aktivitas penerbitan sukuk pada kuartal IV 2024 hingga 2025, terutama untuk tujuan pendanaan ulang, pembiayaan, dan diversifikasi.
Kepala Global Keuangan Islam di Fitch Ratings Bashar Al-Natoor mengatakan,
penerbitan sukuk ESG di pasar keuangan Islam meningkat 14,7 persen secara tahunan dalam sembilan bulan pertama 2024, mencapai 8,9 miliar dolar AS (sekitar Rp 136,2 triliun, dengan asumsi kurs Rp 15.300 per dolar AS).
Arab Saudi menjadi pemimpin dalam penerbitan sukuk ESG di GCC, dengan pangsa 45,8 persen, diikuti oleh Uni Emirat Arab (UEA) sebesar 32 persen. Sementara itu, 40 persen dari semua obligasi dan sukuk ESG di pasar negara berkembang berasal dari UEA, Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Indonesia.
Namun, GCC masih tertinggal dari pasar yang lebih mapan seperti Malaysia dan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh lemahnya dorongan keberlanjutan, kompleksitas kepatuhan syariah, risiko geopolitik, dan volatilitas harga minyak. Selain itu, investor di Timur Tengah cenderung lebih memilih tenor pendek dan belum sepenuhnya mengadopsi faktor ESG secara luas.
Meskipun tertinggal, pasar sukuk ESG di GCC menunjukkan perkembangan, terutama berkat inisiatif pemerintah seperti UEA, Arab Saudi, dan Oman yang memperkenalkan insentif dan kerangka kerja baru untuk menarik minat investor.
"Segmen ini sedang tumbuh, tetapi masih dari basis yang kecil. Ada dorongan aktif dari negara-negara GCC untuk mengembangkan pasar modal mereka," kata Al-Natoor.
Sebagai contoh, Arab Saudi yang terus berupaya mengembangkan pasar obligasi dalam mata uang riyal, sementara UEA mulai mendorong pasar obligasi berbasis dirham. Sementara Indonesia berhasil menarik perhatian investor internasional dengan menerbitkan sukuk dalam dolar AS senilai 2,75 miliar dolar AS (sekitar Rp 42 triliun) awal bulan ini. Sukuk tersebut terdiri dari tenor 5,5 tahun, 10 tahun, dan 30 tahun, dengan mayoritas distribusi tranche 5,5 tahun dibeli oleh investor dari Timur Tengah, Malaysia dan Brunei sebanyak 61 persen.