Rabu 04 Dec 2024 14:06 WIB

Indonesia dan Kanada Kerja Sama Pengembangan Mineral Kritis

Transisi energi menjadi fokus utama pemerintah Indonesia.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Foto udara pabrik pengolahan nikel milik PT Aneka Tambang Tbk di Kecamatan Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Senin (24/8/2020).
Foto: ANTARA/Jojon
Foto udara pabrik pengolahan nikel milik PT Aneka Tambang Tbk di Kecamatan Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Senin (24/8/2020).

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Indonesia dan Kanada menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) terkait kerja sama mineral kritis. MoU yang ditandatangani Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dan Menteri Promosi Ekspor, Perdagangan Internasional, dan Pembangunan Ekonomi Kanada Mary Ng ini mencakup beberapa area kerja strategis.

Kerja sama itu seperti penerapan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui teknologi bersih, serta penguatan perdagangan dan investasi sektor pertambangan.  Bahlil menekankan pentingnya kerja sama ini untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat.

"Listrik kita saat ini sebesar 91 gigawatt dengan pertumbuhan ekonomi di bawah 6 persen. Target Presiden Prabowo untuk pertumbuhan ekonomi ke depan adalah 8 persen, sehingga kami memerlukan tambahan 61 gigawatt untuk mendukung target tersebut," kata Bahlil di pelaksanaan Energy Transition Roundtable (ETR) seperti dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM, Selasa (3/12/2024).

Bahlil juga menyampaikan bahwa transisi energi menjadi fokus utama pemerintah Indonesia. "RUPTL 2025-2033 kami rancang dengan target 60 persen energi baru terbarukan. Kami berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060, bahkan mendorong agar bisa lebih cepat pada 2050," kata Bahlil.

Pada kesempatan yang sama, Mary Ng menegaskan dukungan Kanada terhadap transisi energi berkelanjutan di Indonesia. "Komitmen kami untuk mendukung transisi energi Indonesia yang adil dan berkelanjutan bersifat substansial. Ini termasuk pendanaan iklim global kami sebesar 5,3 miliar dolar Kanada, termasuk Indonesia selama lima tahun terakhir," kata Mary Ng.

Mary Ng menambahkan sebagai bagian dari pendanaan ini Kanada mendukung proyek-proyek utama dengan Bank Pembangunan Asia, seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi Sarulla di Sumatera Utara dan pembangkit listrik tenaga angin dan surya di Sulawesi Selatan dan Lombok.

Ia menambahkan Kanada juga mitra Indonesia di Just Energy Transition Partnership (JETP), yang bertujuan memobilisasi pembiayaan publik dan swasta hingga 20 miliar dolar AS untuk mendukung transisi energi Indonesia.

Di sisi lain, Bahlil mengungkapkan optimisme terhadap potensi kerja sama dengan Kanada di bidang energi nuklir. "Kami tahu Kanada adalah salah satu negara terdepan dalam pengembangan nuklir. DPR telah menyetujui penggunaan tenaga nuklir, dan kami menargetkan regulasinya selesai pada 2025. Implementasinya akan dimulai secara bertahap pada 2032," kata Bahlil.

Bahlil mengatakan Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). "Kami memiliki PLTA di Kalimantan (sungai Kayan) sebesar 12 gigawatt dan di Papua sebesar 23 gigawatt. Ini adalah peluang besar untuk mendukung transisi energi," katanya.

Ia juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara teknologi canggih dan harga yang terjangkau. "Teknologinya boleh bagus, tapi harganya jangan terlalu mahal. Kami mencari solusi yang seimbang agar teknologi bisa diterapkan dengan nilai ekonomis yang bijak," tambahnya.

Melalui penandatanganan MoU ini, Indonesia dan Kanada diharapkan dapat memperkuat sinergi dalam mendorong transisi energi berkelanjutan. "Kerja sama ini adalah langkah awal yang baik untuk mempercepat transformasi energi. Dengan kolaborasi yang erat, saya yakin kedua negara dapat saling bertukar teknologi dan mencapai target bersama," kata Bahlil.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement