Rabu 18 Dec 2024 12:51 WIB

Sustain: Rp354 T dari Usulan Peningkatan Pungutan Batu Bara untuk Transisi Energi

Peningkatan pungutan produksi batu bara bisa diterapkan secara progresif.

Red: Gilang Akbar Prambadi
Kegiatan bertajuk Peningkatan Pungutan Produksi Batu Bara: Peluang Transisi Energi dalam Keterbatasan Fiskal di Jakarta.
Foto: Dok. Web
Kegiatan bertajuk Peningkatan Pungutan Produksi Batu Bara: Peluang Transisi Energi dalam Keterbatasan Fiskal di Jakarta.

ESGNOW.ID,  JAKARTA – Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia atau Sustain menawarkan opsi

peningkatan pungutan produksi batu bara untuk memperbesar alokasi anggaran negara dalam

pembiayaan transisi energi.

Melalui mekanisme peningkatan pungutan produksi batu bara, negara berpeluang menerima

pendapatan minimum sebesar Rp84,5 triliun per tahun. Sedangkan dengan skenario optimal,

potensinya bisa mencapai Rp353,7 triliun yang berasal dari industri batu bara.

Direktur Eksekutif Sustain Tata Mustasya mengatakan, potensi tersebut didapatkan dari

menghitung peningkatan pungutan terhadap produksi batu bara dengan beberapa skenario

harga batu bara dalam kurun waktu 2022-2024.

Menurutnya, opsi peningkatan pungutan batu bara dapat mengatasi salah satu masalah dari

transisi energi seperti skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yakni ketersediaan

anggaran. Hal ini sekaligus sebagai disinsentif untuk industri batu bara yang merupakan energi

fosil.

“(Ini juga) pemenuhan aspek keadilan, karena perusahaan batu bara memperoleh supernormal

profit (mendapatkan untung yang sangat tinggi),” ujar Tata dalam diskusi bertajuk Peningkatan

Pungutan Produksi Batu Bara: Peluang Transisi Energi dalam Keterbatasan Fiskal di Jakarta,

Selasa (17/12/2024).

Tata mengatakan, bila penambahan pendapatan dari 2025-2030 ini dikonversi dan

dibandingkan dengan kebutuhan JETP, skenario terbaik dapat menutup 147 persen dari

kebutuhan pendanaan. Sementara dalam skenario paling minimum, akan menutup kebutuhan

pendanaan untuk pengembangan jaringan transmisi dan distribusi listrik dan akselerasi untuk

energi terbarukan variable (35 persen).

Menurut Tata, peningkatan pungutan produksi batu bara bisa diterapkan secara progresif

dengan mengikuti fluktuasi harga pasar batu bara. Selain itu, dapat dipungut melalui

mekanisme lain seperti pajak, royalti, dan lainnya.

“Kebijakan ini juga dapat menjadi sinyal bagi kepemimpinan Indonesia di dunia internasional di

antara negara-negara selatan dan utara untuk mendorong transisi energi,” ujarnya.

Sekretaris Eksekutif dan Anggota Dewan Ekonomi Nasional Septian Hario Seto mengatakan,

pungutan batu bara sudah sempat dilakukan di Indonesia melalui windfall profit tax dan royalti.

Menurutnya, pendapatan negara dari royalti batu bara dua tahun terakhir tergolong besar.

“Total tahun 2022 sekitar Rp170 triliun, melebihi migas (minyak dan gas bumi). Pada tahun

2023 sebesar Rp168 triliun,” katanya menerangkan.

Namun, dia mengungkapkan, beberapa tambang batu bara memiliki masa tambang kurang dari

10 tahun, terutama untuk pertambangan dengan Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK).

Sehingga pendapatan royalti negara bisa jadi tidak akan bertahan lama.

“Kita kemungkinan akan kehilangan produksi batu bara sebesar 200 juta ton. Karena di tahun

2035 (sumber daya batu bara) akan habis, tidak ekonomis lagi untuk menambang dengan

struktur royalti yang ada untuk IUPK,” kata Septian.

Direktur Eksekutif Climate Policy Initiative Tiza Mafira menyoroti pembelanjaan negara yang

masih cukup besar untuk mensubsidi energi fosil. Berdasarkan perhitungan rata-rata

penerimaan dan belanja fiskal Indonesia tahun 2016-2022, total penerimaan negara dari energi

fosil sebesar Rp210 triliun atau 11 persen dari total penerimaan, sedangkan subsidi energi fosil

mencapai Rp165 triliun atau 9 persen dari total belanja.

Khusus batu bara, belanja negara digunakan dalam bentuk domestic market obligation (DMO)

untuk mensubsidi harga. DMO membuat harga beli batu bara dalam negeri menjadi US$70/ton,

sementara harga pasar terus berfluktuasi, saat ini menyentuh US$175/ton. Kondisi tidak

beriringan dengan upaya transisi energi karena harga batu bara tergolong murah.

Oleh karena itu, Tiza menyarankan ada earmarking atau penandaan anggaran hasil pungutan

batu bara agar tidak bercampur dengan anggaran belanja energi fosil. Dia juga mengajukan

adanya special purpose vehicle atau lembaga keuangan khusus yang fokus menyalurkan hasil

pungutan ke pendanaan energi terbarukan dan jaringan listrik baru atau smart grid.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement