ESGNOW.ID, BRASILIA -- Pemimpin-pemimpin dunia harus menghadapi mundurnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris. Tuan rumah Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) Brasil menilai hal ini menjadi peluang untuk memperkuat suara negara-negara berkembang dalam perdebatan mengenai siapa yang akan membiayai transisi energi global.
Pada COP29 tahun lalu di Azerbaijan, terjadi perdebatan antara negara kaya dan negara pendapatan rendah mengenai berapa banyak kontribusi negara-negara maju pada pendanaan iklim. Negara-negara kaya akhirnya berjanji menyalurkan 300 miliar dolar AS per tahun untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi perubahan iklim pada 2035.
Sementara, target saat ini hanya 100 miliar dolar AS per tahun, jauh lebih rendah yang menurut negara-negara berkembang butuhkan untuk memitigasi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, yakni sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun. Perdebatan diperkirakan akan kembali terjadi di COP iklim tahun ini.
"Sudah cukup sulit mendapat 300 miliar dolar AS dengan Amerika Serikat dalam negosiasi," kata Presiden COP30 Andrea Correa do Lago, Kamis (24/1/2025).
Ia mencatat selama pemerintah mantan presiden Joe Biden, AS mengimplementasikan kebijakan-kebijakan mengatasi perubahan iklim dan bekerja sama untuk memperkuat peran bank pembangunan multilateral seperti Bank Dunia untuk meningkatkan pendanaan proyek-proyek yang bertujuan menahan pemanasan global. Tanpa langkah-langkah tersebut, tambah Correa do Lago, peningkatan pendanaan iklim saat ini jelas akan jauh lebih sulit.
Correa do Lago mengatakan meski dengan tantangan-tantangan tersebut, negara-negara berkembang sangat kompak dalam mendesak negara-negara kaya untuk memperluas jumlah negara yang mendapat pendanaan iklim. Beberapa tahun terakhir, pemimpin-pemimpin Eropa mendesak negara-negara penghasil emisi seperti Cina dan negara-negara Teluk Arab turut berkontribusi dalam pendanaan iklim global.
Cina merupakan negara penghasil emisi terbesar di dunia saat ini. "Apa yang diinginkan negara-negara maju bukan meningkatkan sumber finansial, mereka ingin menurunkan kontribusi mereka ke sumber finansial dan jelas pada dasarnya itu salah," kata Correa do Lago.
Mundurnya AS dari upaya penanggulangan perubahan iklim menimbulkan pertanyaan siapa yang akan memimpin pertemuan perubahan iklim tahun ini. Sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di dunia, AS bersama Uni Eropa dan Cina, menjadi penentu hasil negosiasi iklim.
"Semua orang berharap Cina dan Uni Eropa bekerja sama untuk mengisi kekosongan, yang merupakan harapan yang indah tapi sebenarnya sulit dilakukan," kata utusan khusus bidang iklim CIna, Liu Zhenmin seperti dikutip The Beijing News, saat mengomentari kemungkinan keluarnya AS dari Perjanjian Paris di COP29 tahun lalu.
Correa do Lago mengatakan BRICS yang terdiri dari Brasil, Cina dan perekonomian berkembang lainnya, dapat menjadi forum yang membantu Brasil membangun konsensus untuk mendorong negara-negara kaya menambah kontribusi mereka pada pendanaan iklim. Brasil merupakan presidensi BRICS tahun lalu.
“Kami juga akan berusaha di BRICS untuk memperoleh konsensus dan memicu diskusi tertentu,” kata Correa do Lago.
Dalam pertemuan puncak G20 di Brasil tahun lalu, Brasil dan negara-negara berkembang lainnya berhasil menghalangi upaya negara-negara kaya mendorong negara-negara berkembang membantu pendanaan iklim. Correa do Lago salah satu ketua tim negosiasi saat itu.
Correa do Lago menegaskan negara-negara berkembang sudah menghadapi dampak perubahan iklim dengan anggaran mereka sendiri. Ia menyoroti upaya Brasil menekan angka deforestasi yang menjadi salah satu sumber utama emisi gas rumah kaca dan triliunan investasi Cina pada teknologi energi bersih.
"Cina menyediakan sumber daya yang sangat besar pada negara-negara berkembang dengan memangkas harga panel surya dan menurunkan harga kendaraan listrik," kata Correa do Lago.
Ia menambahkan investasi ini jauh lebih berarti bagi negara-negara pendapat rendah. "(Dibandingkan bila Cina) hanya berkontribusi pada angka yang simbolis," katanya.