Selasa 15 Apr 2025 14:11 WIB

Indonesia Dinilai Lamban Realisasikan Komitmen Transisi Energi

kapasitas PLTU Indonesia justru terus tumbuh.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Teknisi memeriksa solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Teknisi memeriksa solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Lembaga think-tank Climate Analytics menilai Indonesia dan tujuh negara lain di Asia masih terlalu lamban dan tidak membuat kemajuan yang stabil dalam mewujudkan komitmen-komitmen transisi energi internasional yang telah disepakati. Salah satunya, meski menyepakati komitmen untuk beralih dari batu bara ke energi terbarukan, kapasitas PLTU Indonesia masih terus tumbuh.

Dalam laporannya “The Impact of Global Climate Pledges on National Action: A Snapshot Across Asia”, Climate Analytics menilai karena bersifat sukarela, tidak mengikat secara hukum, dan tanpa mekanisme penegakan hukum, komitmen-komitmen transisi energi internasional yang diumumkan tidak sepenuhnya tercermin dalam kebijakan negara-negara, termasuk Indonesia. Hal ini menimbulkan kesenjangan upaya untuk merealisasikan komitmen tersebut.

Baca Juga

“Salah satu masalah yang kami temukan dari komitmen-komitmen internasional ini adalah sifatnya yang sukarela dan tidak mengikat, yang akhirnya membatasi dampaknya. Pemerintah negara-negara dapat membuat pernyataan keras bahwa telah menandatangani komitmen tersebut dalam COP tanpa harus melakukan tindakan konkret,” kata salah satu penulis laporan tersebut Nandini Das seperti dikutip dalam pernyataan Climate Analytics, Selasa (15/4/2025).

Climate Analytics mencatat Indonesia berkomitmen untuk mengurangi kapasitas batu bara dengan menandatangani The Global Coal to Clean Power Transition Statement pada Konferensi Perubahan Iklim PBB Ke-26 (COP26). Indonesia juga telah menargetkan penghentian seluruh PLTU pada 2056 dalam peta jalan netral karbon yang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Selain itu, pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 Brasil 2024, Presiden Subianto menyatakan penghentian seluruh pembangkit listrik berbasis energi fosil sebelum 2040. Namun, hingga kini, Indonesia belum mengumumkan kerangka kebijakan yang didukung rencana aksi untuk mencapai target-target tersebut.

Laporan ini justru menemukan kapasitas PLTU batu bara Indonesia terus meningkat dan saat ini mencapai 45 persen dari total pembangkitan listrik. Karena tidak menyepakati klausul penghentian pembangunan PLTU baru, tercatat PLTU dengan total kapasitas 1 gigawatt (GW) telah mendapat perizinan atau mulai konstruksi sejak semester kedua 2023. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 masih memproyeksikan tambahan PLTU hingga 76,5 GW, naik 26,8 GW dari 2024.

Peralihan ke energi terbarukan di Indonesia juga belum ada kemajuan signifikan. Proyek dan investasi baru energi terbarukan, terutama energi surya dan angin, masih cukup kecil dibandingkan dengan potensinya. Tercatat, investasi proyek energi terbarukan di Indonesia pada 2023, lebih rendah dari Thailand. Menurut Climate Analytics kondisi ini disebabkan kebijakan energi terbarukan yang cukup rumit.

Di COP26, Indonesia juga menyepakati Global Methane Pledge, yang merupakan komitmen untuk memangkas emisi metana hingga 30 persen di bawah ambang batas 2022 pada 2030. Laporan ini mencatat, emisi metana Indonesia justru naik 7 persen pada 2022-2023, dan pemerintah Indonesia belum merencanakan langkah apapun untuk memangkas emisi metana di berbagai sektor ekonomi.

Minimnya dampak komitmen-komitmen transisi energi internasional juga terlihat di tujuh negara lain yang menjadi objek penelitian laporan Climate Analytic. Filipina dan Vietnam masih terus menambah kapasitas batu bara, meski telah berkomitmen menguranginya. Sementara, Korea Selatan dan Jepang masih sangat bergantung pada impor batu bara. Tak hanya itu, Singapura, Filipina, dan Vietnam masih terus melakukan ekspansi proyek impor gas alam cair.    

“Meski komitmen-komitmen internasional ini menjadi landasan bagi kemajuan, berbagai hal di dalamnya tidak sepenuhnya tercantum dalam dokumen NDC (nationally determined contribution/target iklim) dan kebijakan negara-negara yang menyepakatinya,” kata penulis utama laporan, Thomas Houlie.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement